PADANG (12/8/2021) - Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sumatera Barat, Yusri menilai, kinerja perbankan per Juni 2021 di Sumatera Barat, menunjukan trend kenaikan menggembirakan walau Pandemi Covid19 masih belum reda di Sumatera Barat. Trend pertumbuhan positif juga terjadi pada industri perbankan syariah.
"Secara year on year (yoy), aset perbankan konvensional di Sumbar tumbuh 9,03 persen. Sedangkan dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami pertumbuhan 8,50 persen dan kredit (pembiayaan yang diberikan/PYD) juga bertumbuh 8,01 persen," ungkap Yusri dalam pertemuan yang digelar melalui aplikasi zoom meeting, Kamis siang.
Paparan Yusri ini terkait perkembangan kondisi sektor Jasa Keuangan di Sumatera Barat Triwulan II Tahun 2021. Selain diikuti wartawan media cetak, televisi dan siber di Padang, juga hadir direksi Bank Nagari serta pimpinan perbankan nasional di Sumatera Barat dan lainnya.
Dikatakan, pada Juni 2020, aset perbankan di Sumatera Barat sebesar Rp62,59 triliun. Pada tutup tahun 2020 (Desember), nilai aset jadi Rp66,01 triliun yang kemudian terus bertambah di Juni 2021 jadi Rp68,24 triliun.
Untuk DPK, tercatat di angka Rp47,82 triliun pada Juni 2020, sebanyak 48,50 triliun (Desember 2020) dan sebesar Rp51,89 triliun (Juni 2021).
Sementara, angka kredit (pembiayaan yang diberikan/PYD) sebesar Rp53,70 triliun pada Juni 2020, sebanyak Rp54,55 triliun (Desember 2020) dan Rp58 triliun (Juni 2021).
"Untuk NPL/F, angkanya juga terus turun dari 2,71 persen pada Juni 2020 menjadi 2,09 persen pada Juni 2021. Sedangkan angka LDR berada pada kisaran 112,29 persen pada Juni 2020 dan 111,78 persen pada Juni 2021," ungkap Yusri.
Loan to deposit ratio (LDR) adalah perbandingan jumlah total penyaluran kredit terhadap total dana yang diterima. LDR dipakai sebagai indikator penilaian likuiditas bank, yakni kompetensi untuk membayar kembali kewajiban bank terhadap nasabah.
Sementara, non performing loan (NPL/F) adalah salah satu indikator kunci untuk menilai kinerja fungsi bank. Karena, NPL yang tinggi adalah indikator gagalnya bank dalam mengelola bisnis.
Antara lain akan timbul masalah likuiditas (ketidakmampuan membayar pihak ketiga), rentabilitas (hutang tidak dapat ditagih) dan solvabilitas (modal berkurang). Laba yang merosot adalah salah satu imbasnya karena praktis bank kehilangan sumber pendapatan, disamping harus menyisihkan pencadangan sesuai kolektibilitas kredit.
NPL mencerminkan juga risiko kredit, semakin tinggi tingkat NPL maka semakin besar pula risiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank. Bank Indonesia menetapkan batas maksimal NPL berada di angka 5 persen dari total kredit yang dikucurkan.
Syariah ikut Bergairah
Di triwulan II tahun 2021 ini, Yusri mengungkapkan, DPK dan kredit perbankan syariah per Juni 2021 juga memperlihatkan trend pertumbuhan positif.
Nilai aset bank syariah di Sumatera Barat, ungkap Yusri, mencapai angka Rp7,277 triliun, DPK (Rp6,84 triliun) dan pembiayaan (Rp5,28 triliun) yang berarti tumbuh 18,79 persen (aset), 19,85 persen (DPK) dan 10,76 persen (pembiayaan) secara yoy per Juni 2021.
"Secara yoy Juni 2021, pertumbuhan giro syariah naik 11,24 persen, tabungan syariah naik 14,16 persen dan deposito syariah bertumbuh 25,90 persen," ungkap Yusri.
"Untuk pembiayaan yang disalurkan (PYD), naik 12,72 persen di sektor konsumsi, 4,35 persen (sektor investasi) dan 10,76 persen (modal kerja)," tambahnya.
Disebutkan Yusri, jumlah giro di industri perbankan syariah Sumatera Barat per Juni 2021 sebesar Rp0,32 triliun, tabungan (Rp3,15 triliun) dan deposito (3,36 triliun). Sementara, PYD untuk sektor konsumsi senilai Rp3,58 triliun, investasi (Rp0,75 triliun) dan modal kerja (Rp0,94 triliun).
Dikesempatan itu, Yusri menegaskan, dirinya menangkap makna penundaan konversi Bank Nagari ke sistem Syariah hingga awal 2023, merupakan bentuk penundaan pelaksanaan.
"Saya menangkap, persiapan menuju sistem syariah di Bank Nagari tetap harus dijalankan direksi seiring keputusan penundaan tersebut," ungkapnya. (kyo)
Editor : Devan Alvaro