LIMAPULUH KOTA (12/10/2023) - Pengerjaan pembangunan Masjid Tuo Ampang Gadang di Kabupaten Limapuluh Kota memakan waktu 4 tahun. Pengerjaannya dimulai tahun 1834, pembangunannya baru selesai di tahun 1837.
"Pada tahun 1834 itu, masjid tuo ini sudah ada juga aktifitas keagamaan Islam, namun bangunan masjid masih bersifat sederhana, belum seperti kondisi bangunan yang tampak sekarang," ungkap tokoh masyarakat Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguak, Remizal Dt Parpatiah, Kamis.
Masjid Ampang Gadang tercatat sebagai cagar budaya di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar dengan nomor inventaris 63/BCB-TB/A/10/2009. Masjid ini merupakan milik kaum Caniago Ampang Gadang Tujuah Koto Talago.
Masjid Ampang Gadang ini memiliki luas 13,6 m x 13,6 m dengan luas lahan 25 m x 12 m. Pada sisi Barat terdapat sebuah ruang mihrab berdenah persegi panjang, berukuran 1,5 x 4 m.
Bangunan utama juga dilengkapi beberapa buah jendela, yang tersebar pada keempat sisi dinding Masjid dengan kusen setinggi 1,75 m dan selebar 1 m.
Bangunan masjid, sebenarnya terbagi atas serambi dan ruang utama. Serambi masjid berada di sebelah timur atau bagian depan bangunan utama. Bangunan utama langsung bersambung dengan bangunan serambi.
Lantai dan dinding serambi terbuat dari beton. Pada sisi kiri dan kanan serambi, denahnya menjorok keluar berbentuk segi delapan dengan kubah di atasnya.
Serambi dan ruang utama, dihubungkan oleh dua pintu di sebelah timur. Ruang utama memiliki 10 buah jendela, yakni masing-masing lima berada di sebelah utara dan selatan.
Dinding ruang utama yang terbuat dari kayu ini memiliki hiasan kaligrafi. Di sisi barat ruang utama, berdiri mihrab yang menjorok keluar.
Mihrab memiliki dua buah jendela di sisi utara dan selatan. Mihrab dihiasi dua buah lengkung dengan satu tiang di bagian tengahnya. Di bagian atas mihrab, juga terdapat hiasan berupa kaligrafi.
Ruang utama terbuat dari kayu, termasuk lantai ruang utama. Kondisi lantai sudah keropos dan rapuh. Hanya lantai dekat mihrab, yakni lantai sebelah barat, yang masih dapat digunakan untuk sholat.
Di dalam ruang utama, berdiri 18 tiang dan satu tonggak macu di tengah ruangan.
Secara keseluruhan, bangunan utama terbuat dari bahan kayu, mulai dari dinding, lantai, tiang, eternity, kecuali atap yang terbuat dari seng.
Perubahan atap dari ijuk ke seng, dilakukan pada tahun 1322 H (1901 M), sesuai dengan inskripsi yang tercantum dalam atap.
Ruangan dalam, semuanya dilapisi dengan cat dan dihiasi dengan lukisan kaligrafi ayat-ayat Al Quran dan Asmaul Husna. Pemberian cat dan kaligrafi ini, dibuat pada tahun 1960-an.
Ruangan dalam masjid, disangga oleh satu buah tiang utama dan 12 buah tiang pendamping.
Tiang utama berbentuk segi delapan (octagonal) setinggi 4 m dengan lebar masing-masing sisi 30 cm atau berukuran keliling 2,4 m.
Mihrab dihiasi dengan lengkung sebanyak dua buah, sementara mimbar yang biasa berada di dalam mihrab sudah tidak ada lagi, kemungkinan sudah rusak.
Dalam dialognya dengan Ketua DPRD Sumbar, Supardi yang berkunjung ke masjid ini, Dt Parpatiah membenarkan, Masjid Tuo Ampang Gadang ini juga bagian dari perjalanan perjuangan Perang Padri yang berlangsung pada 1803-1838.
Perang yang dikomandoi Tuanku Imam Bonjol dalam melawan kolonialisme Hindia Belanda itu, dalam perjalanannya merupakan pemantik kesadaran berbangsa kaum adat dan kaum padri.
"Di Ampang Gadang, di masa itu, ada seorang panglima Perang Padri, Tuanku Nan Biru, yang saat ini diabadikan sebagai nama lapangan bola kaki di Nagari Tujuah Koto Talago," ungkap Dt Parpatiah.
Pendapat Dt Parpatiah, masjid tuo Ampang Gadang ini dulunya merupakan basis kekuatan perlawanan kaum Padri terhadap kolonial Hindia Belanda, selain juga pengembangan Islam di Sumatera Barat bagian timur Kabupaten Limapuluh Kota.
"Masjid Tuo Ampang Gadang merupakan salah bukti, jejak-jejak dari perjuangan Tuanku Imam Bonjol, dimana dimasjid tuo tempat berkumpul orang-orang shalih yang taat menjalankan amalan agama Islam," ungkapnya.
Dt Parpatih juga sampaikan rasa prihatinnya, atas kondisi Masjid Tuo Ampang Gadang saat ini. Dimana, kondisinya dalam keadaan rusak berat, butuh perhatian semua pihak untuk melestarikannya.
"Masjid ini merupakan salah satu saksi sejarah perkembangan Islam di Minangkabau, yang juga salah satu titik riwayat perjuangan perlawanan masyarakat Sumbar melawan kolonial Hindia Belanda di masa Perang Padri. Tentulah, perlu dilestarikan untuk diketahui generasi ke generasi," ujarnya.
Atas paparan Dt Parpatiah ini, Supardi bertekad untuk berkontribusi aktifl dalam melestarikan peninggalan sejarah ini.
"Kita jangan lupa sejarah. Ini harus kita lestarikan, agar kedepan anak-cucu kita bisa merasakan bagaimana Islam dan pejuangnya mempertahankan negri ini, melalui masjid-masjid dan dakwah," tegas Supardi. (*)
Editor : Mangindo Kayo