VALORANEWS.COM - Unik! Pengantin pria dipakaikan suntiang Minang, hanya ada di Kabupaten ini, ternyata begini sejarahnya.
Kali ini, ValoraNews.com bakal megulas sejarah marapulai dipakaikan suntiang. Bukan tanpa alasan, karena di Minangkabau banyak sekali keragaman budaya terutama terkait dalam acara perkawinan.
Lantas, apakah Anda pernahkah mendengar tentang pengantin pria memakai sunting seperti anak daro? Penasaran gimana kisahnya dan bagaimana sejarahnya kenapa di daerah tersebut memakai suntiang? Simak penjelasannya seperti dilansir dari kanal YouTube Mulifa Channel, Kamis, 1 Februari 2024.
Minangkabau juga memiliki tata cara tempo yang lama dan juga panjang. Pelaksanaan upacara perkawinan di Minangkabau berbeda pada masing-masing daerah.
Sebab upacara perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan adat istiadat yang dianut masyarakat setempat atau adat salingka nagari.
Pada upacara perkawinan terdapat serangkaian tradisi yang dilaksanakan masyarakat tersebut yang bertujuan untuk memeriahkan pesta perkawinan.
Setiap daerah memiliki cara atau prosedur dalam melaksanakan upacara perkawinan. Kendati, berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Tradisi yang dimiliki akan terus diwariskan dan seharusnya generasi muda sebagai generasi penerus harus tetap mendukung dan mempertahankan nilai-nilai yang telah ada dalam tradisi di daerah-daerah tersebut.
Salah satu keunikan yang ada di Minangkabau dalam proses resepsi ini adalah di daerah Inderapura yang terletak di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Perkawinan di Nagari Inderapura secara adat sama dengan daerah lain yang ada di Pesisir Selatan lainnya.
Dalam perkawinan pada masyarakat Inderapura terdapat berbagai tradisi yang dilaksanakan pada saat mengadakan upacara perkawinan.
Diantaranya, pencarian jodoh atau peminangan atau disebut juga dengan lamaran yaitu seorang pria yang ditemani orang tuanya dan beberapa orang kerabat datang ke rumah wanita untuk menyatakan maksud tertentu atau melamar.
Kemudian setelah acara lamaran diterima akan diadakan pernikahan yang biasanya diadakan di rumah wanita.
Sebelum pesta perkawinan dilaksanakan terlebih dahulu diadakan rapat kecil atau berkumpulnya keluarga terdekat untuk membicarakan masalah waktu dan dana pesta.
Kemudian diadakan rapat besar yaitu acara yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar untuk memberitahukan kapan dilaksanakan pesta perkawinan sekaligus
penghimpunan dana seperti bantuan dari bako atau rumah orang, rumah ayah.
Setelah prosedur tersebut dilaksanakan maka pelaksanaan perkawinan adat dilakukan pada saat pesta perkawinan.
Terdapat serangkaian kegiatan yang mewarnai pesta perkawinan tersebut. Salah satunya yaitu tradisi merapulai dipakaikan suntiang.
Tradisi ini merupakan tradisi yang telah dilaksanakan sejak dahulu. Tradisi marapulai basuntiang masih tetap dilaksanakan pada saat upacara perkawinan secara adat untuk memenuhi ketentuan adat masyarakat.
Makna dan nilai dari tradisi marapulai dipakaikan suntiang yang dilaksanakan pada saat upacara perkawinan ini bermaksud untuk mentafsirkan seorang laki-laki tersebut telah menjadi orang sumando kepada pihak perempuan di Nagari Inderapura.
Tradisi marapulai basuntiang merupakan suatu tradisi yang dilasaknakan pada saat melangsungkan pesta perkawinan yang memenuhi ketentuan hukum adat masyarakat di Nagari Inderapura.
Nagari Inderapura merupakan kenagarian yang terletak di Kabupaten Pesisir Selatan bagian ujung yang dikenal dengan Nagari Rantau dari
Minangkabau.
Kanagarian ini dahulunya merupakan nagari yang pernah ada kerajaan. Sampai sekarang masih ada bukti-bukti yang menggambarkan bahwa memang nagari ini adalah kerajaan pada zaman dulunya.
Seperti, adanya puing-puing dari kerajaan, tangga dari kerajaan yang bekasnya sampai sekarang masih ada.
Kerajaan ini dulu bernama kerajaan Inderapura atau banyak juga yang menyebut Indojati.
Tradisi yang unik di kenagarian Inderapura yang berbeda dengan nagari di Minang lainnya adalah yang mana marapulai atau pengantin laki-laki memakai suntiang. Sedangkan di kenagarian lain marapulai memakai saluak.
Kisah Marapulai Pakai Suntiang
Konon kabarnya sejarah dari pengantin pria atau marapulai dipakaikan suntiag ini ada kisahnya. Kisahnya itu dari zaman tiang bungkuk dulu di Ranah Minang.
Saat itu Inderapura kedatangan Adityawarman anak dari Dara Jingga yang mana Dara Jingga adalah Bundo Kanduang dalam versi tambo.
Dalam buku pararaton versi Jawa, bahwa Dara Jingga ini mempunyai suami seorang komandan ekspedisi malayu dari Singasari yaitu Mahesa Anabrang.
Sedangkan ayah dari Dara Jingga ini adalah Srimat Tribuana Raja Mauliwadewa atau raja kerajaan Dharmasraya berarti Adityawarman adalah pewaris kerajaan Dharmasraya.
Aditya Warman baru saja pulang dari Kerajaan Majapahit untuk menguasai wilayah-wilayah Minang dan sampailah pada Kerajaan Inderapura.
Untuk membawahi kerajaan tersebut pihak kerajaan Inderapura menyambut kedatangan Raja Adityawarman dengan sebaik-baiknya, seperti Tari Gelombang dan beberapa Anak Daro yang sedang menari.
Karena merasa disambut dengan baik maka Raja Adityawarman beserta pasukannya turun dan melihat hiburan yang diadakan untuk menyambut mereka dengan diadakannya tarian dan anak daro tersebut.
Maka Adityawarman tertarik dengan salah satu dari anak daro tersebut. Karena Adityawarman tertarik dengan salah seorang anak daro maka mereka pun dinikahkan dengan satu syarat Adityawarman harus memakai suntiang.
Setelah itu, dilaksanakan upacara perkawinan yang mana Adityawarman diberi suntiang sebagai hiasan tutup kepala.
Tujuan kerajaan Inderapura menikahkan awan agar dia tidak menjajah nagarinya atau membawahinya.
Setelah pernikahan dan pesta perkawinan selesai maka Aditywarman telah sah sebagai sumando dengan demikian berarti derajatnya sama dengan perempuan yang telah dinikahinya. Ini yang bisa disebut juga dengan turun setingkek tanggo.
Oleh sebab itu Adityawarman tidak bisa lagi berbuat sesuka hatinya di Inderapura dikarenakan dia telah menjadi sumando kerajaan tersebut.
Adapun makna dari tradisi marapulai basuntiang dalam adab perkawinan di Inderapura yaitu turun satingkek tanggo.
Turun satingkek tanggo adalah seorang laki-laki yang telah menjadi sumando sederajat dengan perempuan yang dinikahinya.
Berarti Adityawrman tadi Raja dengan anak daronya dari Indrapura dan yang kedua itu sebagai Raja Sahari. Maksudnya, marapulai dan anak daro menjadi raja sahari karena di arak-arak sekeliling kampung untuk menggambarkan kepada masyarakat umum bahwa seorang laki-laki telah menjadi orang sumando.
Proses awal dari suatu upacara perkawinan itu disebut marambah jalan. Bagi orang tua yang mempunyai anak gadis merasa punya beban dan tanggung jawab yang berat untuk
mencarikan jodoh dan melaksanakan perkawinan.
Setelah hasil merambah jalan disepakat hati maka diadakan muafakat dengan kaum kerabat di Nagari Inderapura itu yang disebut dengan bilik ketek.
Pada muafakat ini dibahas tentang sesuatu yang diperlukan dalam peralatan sekaligus membicarakan hari yang baik untuk datang meminang.
Selanjutnya untuk mengikat tali pertunangan di Inderapura disebut dengan uang hilang, yaitu uang yang diberikan kepada pihak perempuan sebagai tanda berbeda dengan Pariaman.
Setelah sepakat antara pihak laki-laki dan perempuan tentang hari perhelatan, serta persyaratan tersebut. Maka selanjutnya pihak perempuan beserta mamak dan bako atau saudara perempuan dari ayahnya, serta orang yang satu kaum mengadakan mufakat atau rapat lagi yang membahas tentang bahan-bahan yang dibutuhkan.
Pada saat perhelatan di Inderapura disebut bilik gadang. Waktu pelaksanaan ini ditentukan pada saat kedua belah pihak, yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan berunding atau rapat.
Waktu rapat ini menentukan hari kapan dilangsungkannya pernikahan dan acara pesta perkawinan atau beralek. Di sana itu diberikan tanda bahwa perempuan telah dipinang dengan memberikan bisa berupa uang ataupun barang beralek.
Di Inderapura ini memakai atau menggunakan adat salingka nagari maksudnya adat yang ada di kerajaan Inderapura tersebut.
Peristiwa yang dianggap penting dalam kehidupan manusia biasanya diperingati dengan berbagai bentuk upacara sebagaimana yang telah biasa dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat meng menganggap tradisi marpulai basuntiang ini merupakan bagian dari kebudayaan nagari tersebut.
Pakaian adat sangat penting dalam kehidupan beradat di Minangkabau. Begitu juga dengan pakaian pengantin yang memiliki makna dan nilai tersendiri yang terkandung di dalamnya.
Seperti pakaian pengantin di Inderapura ini memiliki makna dan nilai yang sangat berpengaruh terhadap hidup beradat orang-orang setempat.
Makna basuntiang dari segi prosesnya melambangkan keterkaitan kerjasama antara komponen yang satu dengan komponen yang lain. Yaitu, antara mamak dengan anak keponakannya dan antara keluarga dengan kaumnya. (*)
Editor : VN-1Sumber : YouTube Mulifa Channel