Menemukan Kesunyian Paling Syahdu di Simpang Sugiran

×

Menemukan Kesunyian Paling Syahdu di Simpang Sugiran

Bagikan berita
Penggiat Satuan Tenaga Konselor Kepariwisataan (SANAK) Sumatera Barat, Muhammad Fadhli dengan latar belakang rumah gadang Minang khas Simpang Sugiran yang tak seperti lazimnya rumah adat Minang. (istimewa)
Penggiat Satuan Tenaga Konselor Kepariwisataan (SANAK) Sumatera Barat, Muhammad Fadhli dengan latar belakang rumah gadang Minang khas Simpang Sugiran yang tak seperti lazimnya rumah adat Minang. (istimewa)

Menemukan Kesunyian Paling Syahdu di Simpang Sugiran

LIMAPULUH KOTA (3/12/2024) - Simpang, barangkali kata ini sangat identik dengan keriuhan lalu lintas. Hilir mudik kendaraan, bunyi kenalpot bermacam ragam, sampai sorak sorai manusia, segera melintas di kepala.

Tapi tidak dengan Simpang Sugiran. Nagari yang terletak di Kecamatan Guguak, Kabupaten Limapuluh Kota ini sangat sunyi.

Penulis menelusuri nagari ini beberapa waktu lalu dalam rangka observasi awal, pembinaan desa wisata bersama tim Satuan Tenaga Konselor Kepariwisataan (SANAK) Sumatera Barat.

Perjalanan yang berlangsung dari pagi bak membawa kami menuju relung surga yang tersembunyi.

Untuk mencapai Simpang Sugiran, diperlukan waktu sekitar setengah jam dari jalur utama Bukittinggi-Payokumbuah.

Sepanjang perjalanan aura pedesaan sangat kental terasa. Kiri kanan jalan sawah membentang. Di kejauhan bukit dengan dasar kars tampak menjulang. Rumah-rumah tua, surau-surau sepertinya masih banyak yang utuh.

Sampai di Simpang Sugiran, kami segera menuju rumah seorang perempuan sepuh yang kami panggil "mama."

Wanita ini seperti kebanyakan perempuan Minang, menaruh senyum dengan segala santun kepada sesiapa yang baru datang.

"Sugiran ini memang lebih sunyi dari nagari lain. Sinyal HP pun tidak sempurna disini. Makanya kami pakai wifi khusus," kata wanita itu.

Benar saja, ketika dicoba, menggunakan hp untuk berinternet sangat sulit disini. Hanya beberapa titik yang ada sinyalnya. Itupun sangat sedikit.

Kesunyian makin terasa manakala kami shalat Jumat di masjid setempat. Masjid yang tak berapa jauh dari kantor walinagari itu, sebenarnya berukuran kecil. Seukuran mushalla sebenarnya. Tapi itupun tidak penuh. Warganya sangat sedikit. Itu kesimpulan penulis.

Usai shalat, kami segera menyusuri satu titik yang disebut-sebut sebagai "unggulan" Sugiran apabila menjadi desa wisata.

Titik itu bernama Lokuang. Dalam bahasa setempat lokuang berarti ceruk atau lekungan. Lokuang terletak di bagian paling ujung jalan desa. Kami berangkat kesana bersama Tori.

Jalan yang tersedia hanya ada satu jalur. Sempit dan curam di beberapa titik. Tapi pemandangan yang terbentang pada bagian setelah tanjakan panjang sangat luar biasa.

Berdiri pada satu ketinggian, pemandangan lepas ke arah lembah "lokuang" begitu indah. Sawah luas sekitar 20 hektar mebentang sebagai lantai lembah.

Sebuah jalur irigasi tampak jelas, membelah bentangan sawah itu. Sementara di sekitar sawah, bukit sambung menyambung seperti benteng alami.

"Ini areal sawah paling luas di nagari simpang sugiran" terang Tori ketika kami rehat di pondoknya.

Pndok itu ditata Tori sedemikian rupa sehingga layak sekali menjadi homestay. Bagian balkon menyediakan pemendangan tepat ke tengah areal sawah di kerendahannya.

Di sekitar pondok, Tori menanam sejumlah tanaman. Tapi yang paling mencolok adalah tanaman kopi.

Di bukit tepat di seberang persawahan terdapat hutan pinus. "Itu pinus sudah ditanam sejak zaman Pak Harto," kata Tori.

Keterangan ini berelasi dengan keterangan mama bahwa masyarakat Simpang Sugiran sebagian berprofesi sebagai penakik getah pinus.

Kami melanjutkan perjalanan ke area kampung yang berada di sudut lembah lokuang. Di situ terdapat banyak sekali rumah adat lama. Bentuk dan ukurannya sangat berbeda dengan Rumah Gadang Minang kebanyakan.

Tiap rumah adat hanya memiliki 4 gonjong. Panjangnyapun tak sepanjang rumah gadang umumnya. Pintu masuk berada di bagian samping, berbeda dengan rumah gadang biasa yang pintunya terletak di tengah.

Tak begitu banyak ukiran. Rata-rata rumah-rumah tua ini juga tidak diberi ornamen dengan kelir merah, kuning, putih dan hitam.

Ornamen polos hanya tampak pada bagian tertentu saja. Atapnya kebanyakan sudah berganti dengan seng. Tetapi itupun sudah menghitam karena tua. Sangat klasik.

Senja datang. Sebenarnya, masih ada sejumlah kawasna yang harusnya kami kunjungi. Tapi gelap memerangkap begitu cepat.

Kamipun sudah berjanji untuk bertemu dengan perangkat nagari serta unsur-unsur masyarakat pada malam harinya. Syahdan, pertemuan kemudian dilangsungkan setelah hujan reda.

Dalam pertemuan itu, kami memaparkan sejumlah hal terkait pembangunan dan pengembangan desa wisata. Terutama soal strategi branding dan penggarapan event wisata dan pengembangan kesenian.

Walinagari, Malkisran menjelaskan, bahwa dulu kesenian pernah begitu hidup di Simpang Sugiran.

"Saya dulu termasuk salah satu pemain dan pembinanya. Ketika itu kesenian seperti randai bahkan drama sudah berkembang di sini," sebutnya.

Namun seiring berjalan waktu, seperti juga kesenian tradisi di kawasan lain di Sumatera Barat, kesenian sugiranpun mulai redup. Tapi setidaknya pada pertemuan malam itu terasa ada semangat yang kembali bangkit.

Sugiran sepertinya akan berbenah secara serius menjadi desa wisata. Desa wisata dengan keindahan yang sunyi dan syahdu sebagai tawaran istimewanya. (*)

Editor : Mangindo Kayo
Tag: