PADANG (25/12/2024) - Produk-produk kebudayaan yang dilakukan nenek moyang orang Minangkabau seperti pendirian Rumah Gadang, sangat erat kaitannya dengan mitigasi bencana.
Hal itu tak lepas dari status Sumatera Barat yang boleh dikatakan daerah supermarket bencana. Nyaris semua jenis bencana terjadi, mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi hingga bencana hidrometerologi.
“Nenek moyang orang Minang, telah menghadapi berbagai jenis bencana ini sejak dulu. Hipotesanya, mereka sudah adaptif. Saya yakin, nenek moyang kita dahulunya memiliki cara menghadapi bencana yang terjadi,” ungkap jurnalis dan periset, Yose Hendra.
Hal itu dikatakannya, dalam workshop Pengetahuan Lokal Kebencanaan di Sumatera Barat, bertemakan; “Fragmen Pengetahuan Lokal Kebencanaan untuk Indonesia Tangguh,” yang diadakan di Warunk Naras 4, Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara, Rabu.
Dalam waktu dekat, Yose dan tim akan melakukan riset dan pendokumentasian soal pengetahuan lokal kebencanaan di empat kabupaten di Sumatra Barat yakni Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota dan Kepulauan Mentawai.
Dikatakan, Sumatera Barat sebagai salah satu daerah dengan tingkat kerawanan bencana tertinggi di Indonesia, memiliki kekayaan pengetahuan lokal yang dapat jadi dasar mitigasi bencana.
Namun, upaya untuk menggali dan memanfaatkan pengetahuan lokal tersebut masih sangat minim. Sehingga, pengetahuan lokal yang mungkin banyak soal kebencanaan, belum benar-benar jadi kearifan lokal dalam konteks merespons bencana.
Penelitian ini, menurut Yose, bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, mesti mencari penutur yang bisa mengisahkan mitos, legenda, cerita rakyat (folklor), toponimi atau mereka yang bisa menjelaskan soal ritus dan produk-produk budaya lainnya terkait kearifan merespons bencana.
Melalui penelitian ini, sebut Yose, pihaknya ingin mengungkap bagaimana pengetahuan lokal, adalah bentuk mitigasi yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat terdahulu.
“Itulah tujuan penelitian dilakukan, karena banyak yang tidak mengetahui produk-produk lokal kebudayaan yang berkaitan erat dengan mitigasi bencana,” katanya.
Penelitian yang akan dipimpin Yose Hendra ini, didukung program Dana Indonesiana, mengangkat tema “Fragmen yang Menggugah : Produksi Pengetahuan Lokal untuk Sumatera Barat Tangguh Bencana.”
Program dari Kementerian Kebudayaan (dulunya: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan berjalan 10 bulan ke depan.
Dimana, diawali dengan workshop untuk peningkatan kapasitas yang menghadirkan dua pembicara ahli, Pramono (Filolog) dan Ade Edward (Ahli Kebencanaan) serta dihadiri Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatera Barat, Undri.
Kearifan Lokal sebagai Kunci Mitigasi Bencana
Undri, dalam sambutannya, menekankan pentingnya memadukan kearifan lokal dengan pengetahuan modern dalam mitigasi bencana.
“Sumatera Barat memiliki risiko bencana alam yang sangat tinggi. Oleh karena itu, mitigasi bencana berbasis kearifan lokal perlu terus digali dan dikembangkan agar masyarakat dapat lebih siap menghadapi ancaman bencana,” ujarnya.
Undri mengatakan, Yose Hendra merupakan penerima Kajian Objek Pemajuan Kebudayaan (KOPK) 2024 jalur Perseorangan.
Menurut Undri, tema yang diangkat menarik mengingat Sumbar rawan terhadap bencana alam.
“Sumbar rawan bencana, mitigasi bencana perlu dilakukan baik terkait kearifan lokal maupun pengetahuan masyarakat itu sendiri,” jelasnya.
Ia berharap,masyarakat bisa mengetahui pentingnya mitigasi bencana dan menerapkannya saat bencana itu terjadi.
“Terkhusus, masyarakat di Sumbar semoga bisa melakukan mitigasi bencana sebelum untuk ke depannya," tutupnya.
Mitigasi Kultural
Ahli Kebencanaan, Ade Edward menggarisbawahi, dalam konteks kebencanaan ada dua tipe mitigasi yakni mitigasi struktural dan mitigasi kultural.
Di Indonesia, katanya, selama ini pijakan penanganan bencana berbasiskan mitigasi struktural dan agak mengabaikan mitigasi kultural.
“Padahal, mitigasi kultural relative kecil dari sisi penganggaran untuk penanganan bencana, ketimbang mitigasi struktural.”
“Kita punya basis mitigasi kultural berupa pengetahuan lokal. Maka riset dan pendokumentasian yang akan dilakukan Yose ini sangat menarik,” kata Direktur Eksekutif Patahan Sumatera Institute ini.
Ia juga mengatakan, Sumatera Barat sangat rentan terhadap bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami, gerakan tanah dan letusan gunung berapi.
Oleh karena itu, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus mempertimbangkan ancaman tersebut.
Ade juga memberikan beberapa rekomendasi praktis untuk mitigasi, antara lain gempa bumi dan gerakan tanah, yakni membangun permukiman tahan gemparal dan menghindari zona kerentanan gerakan tanah tinggi.
Sementara, untuk ancaman tsunami, dengan menghindari pembangunan di kawasan rawan tsunami, membuat jalur hijau serta menyediakan jalur dan pelatihan evakuasi.
Sedangkan letusan gunung berapi, tidak mendirikan permukiman di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III dan tetap waspada di KRB II dan KRB I.
Kolaborasi Pengetahuan untuk Masa Depan yang Lebih Tangguh Bencana
Sementara itu, Filolog dari Universitas Andalas, Pramono memaparkan, Sumatera Barat sesungguhnya punya tradisi lisan soal kebencanaan, seperti cerita asal-usul nama tempat (toponimi), misalnya Bungo Pasang, Tarandam, Ampang Gadang, Kubang Putiah, Batuhampa dan lainnya.
Cerita prosa rakyat: mitos, legenda dan dongeng, termasuk arsitektur tradisional dengan penyebutan tonggak macu. Termasuk juga kisah teteu di Kepulauan Mentawai.
“Namun masih minim dokumentasi folklor kebencanaan,” kata Pramono yang baru saja merengkuh Surat Keputusan sebagai Guru Besar dari kementerian terkait di bidang Kajian Manuskrip ini.
Ia menjelaskan, sejarah dan tradisi lisan di Sumatera Barat menyimpan banyak pelajaran penting tentang mitigasi bencana.
“Beberapa di antaranya bahkan diabadikan menjadi nama daerah. Secara lisan juga, gambaran peristiwa banjir juga dikisahkan dalam cerita-cerita kaba,” katanya.
“Selain wujud dalam tradisi lisan, rekaman peristiwa banjir juga dapat ditemukan dalam bentuk tertulis seperti naskah,” tambahnya.
Ia juga menambahkan, salah satu naskah yang secara khusus mengisahkan tentang bencana banjir di Minangkabaun adalah naskah “Syair Nagari Talu Taloe Tarendam 1890.”
“Rekaman peristiwa banjir tersebut dapat dijadikan sumber untuk memetakan wilayah rawan banjir di Sumatera Barat,” tuturnya.
“Dalam konteks mitigasi bencana, melalui ingatan bencana banjir itu dapat belajar tentang bagaimana menyikapi dan menghadapi bencana banjir hari ini dan masa yang akan datang,” tuturnya.
Menurutnya, khazanah warisan ingatan kebencanaan di Sumatera Barat mencerminkan hubungan erat antara masyarakat Minangkabau dengan alam sekitarnya.
”Penting untuk dikelola agar dapat dijadikan perangkat budaya yang dapat menjadi media pewarisan memori kolektif masyarakat terhadap peristiwa bencana alam,” ujarnya.
Tamsil “alam takambang jadi guru” yang masih lestari dalam pemahaman masyarakat Minangkabau sampai sekarang, dapat diartikan juga sebagai cara urang awak memaknai bencana tidak semata sebagai ancaman, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem yang mereka huni.
Pandangan ini mengajarkan nilai adaptasi, kewaspadaan dan keseimbangan, yang semuanya berkontribusi terhadap kesiapsiagaan dalam mitigasi bencana.
Pentingnya pelestarian khazanah ingatan kebencanaan ini tidak hanya terletak pada nilai historis dan budayanya, tetapi juga pada potensinya untuk mendukung kebijakan mitigasi yang lebih kontekstual dan berbasis kearifan lokal.
Oleh karena itu, integrasi pengetahuan tradisional dalam strategi mitigasi modern dapat jadi solusi yang efektif untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman bencana.
“Kami berharap hasil penelitian ini tidak hanya menjadi dokumentasi, tetapi juga dapat diimplementasikan dalam kebijakan mitigasi dan edukasi masyarakat,” tutup Yose Hendra. (*)
Editor : Mangindo Kayo