PEKANBARU (28/2/2025) - PT Hutahean dinilai ingkar janji. Kesepakatan pembagian 65 persen hasil perkebunan sawit dengan warga dari tiga desa di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) yakni Desa Tingkok, Tambusai Timur dan Lubuk Soting tak kunjung direalisasikan.
“Akibat ketikdapuasan itu, warga dari ketiga desa itu menggelar aksi demo di Afdeling VIII PT Hutahean, Kamis (27/2/2025),” ungkap Wakil Ketua DPRD Riau, Budiman Lubis pada wartawan, Jumat.
Budiman menegaskan, pihaknya akan terus memperjuangkan hak masyarakat. Baik melalui jalur hukum maupun politik. Dia juga minta pada DPRD Rohul, untuk dapat ikut serta didalam perjuangan ini.
“Saya akan meminta dukungan DPRD Riau, bahkan membawa persoalan ini ke DPR RI. Jika perlu, saya akan langsung menghadap Ketua Umum Partai Gerindra, Pak Prabowo Subianto yang kini telah menjabat sebagai Presiden RI,” pungkasnya.
Karena, sambung dia, yang dituntut masyarakat adalah hak mereka sesuai perjanjian antara PT Hutahean dan koperasi mewakili warga pada tahun 2002 lalu.
Politisi Gerindra ini mengatakan, dalam perjanjian yang dibuat dihadapan notaris, disepakati yaitu 65 persen hasil kebun diperuntuk masyarakat, sementara 35 persen untuk perusahaan.
Kesepakatan ini berlaku, sejak kebun mulai menghasilkan yakni sejak tahun 2006. Hingga saat ini, tak ada direalisasikan perusahaan berada di Kabupaten Rohul ini.
Budiman menjelaskan, PT Hutahean itu awalnya memiliki Hak Guna Usaha (HGU) seluasan 5.500 hektare yang tersebar itu didelapan afdeling pada empat desa.
“Setelah terjadi pemekaranya wilayah di kawasan itu, akhirnya terbagi jadi tiga desa. Di Afdeling 1-7, dengan hal memiliki HGU sekitar 4.616 hektare sejak 1999, dan berakhir pada 2028,” sebutnya.
Saat perusahaan membangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS), terangnya, mereka sebenarnya kekurangan suplai buah sawit. Kemudian, mengajukan perluasan HGU seluas 2.380 hektare pada pemerintah.
Namun, permohonan ditolak. Sebagai gantinya, mereka pun hanya mendapat kawasan pencadangan, bukanya izin usaha perkebunan atau HGU itu sebagaimana hal mestinya.
Untuk mengatasi hal keterbatasan itu, PT Hutahean itu menjalin kerja sama dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Setia Baru untuk mengelola 2.380 hektare lahan.
Perjanjian ini dibuat dihadapan notaris dengan skema pembagian hasil 65 persen diperuntukanya ke masyarakat dan sekitar 35 persen untuk perusahaan.
“Seharusnya masyarakat mendapatkan 1.540 hektare, sementara PT Hutahean mengelola 830 hektare. Namun, dalam praktiknya, perusahaan hanya menanam sawit di 825 hektare,” terangnya.
“Secara sepihak, mengklaim lahan tersebut sebagai milik mereka. Sisa dari 2.380 hektare yang tidak tertanami justru diserahkan ke masyarakat tanpa kompensasi,” ungkapnya.
Budiman menegaskan, PT Hutahean sudah mengelabui masyarakat. Karena hal ini bukannya perjanjian jual beli, melainkan kerjasama.
Dari 825 hektare itu, yang telah sudah berproduksi, dan 65 persen hasilnya seharusnya untuk masyarakat.
Tapi, malah mereka berdalih mengalami kerugian serta menolak pembagian hasil. Rugi dari mana? Yakni sisa lahan dari 2.380 hektare belum mereka kelola.
Menurutnya, tindakan PT Hutahean tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga berpotensi melanggar hukum.
Ia meminta pemerintah, untuk hentikan operasional perusahaan ataupun membawa kasus ini ke ranah hukum.
“Perusahaan inipun telah menipu masyarakat. Pemerintah ini harus bertindak tegas,” katanya.
Selain itu, sebut Budiman, kebun sawit seluas 825 hektare itu berada dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), seharusnya tak boleh dialihfungsikan jadi perkebunan sawit. (adv)
Editor : Mangindo Kayo 
                  