Padang (8/10/2025) – Sidang perdana kasus kekerasan brutal yang menewaskan seorang anak, Wahyu Andri Pratama, di kawasan By Pass Ketaping, Padang, akhirnya mulai bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Padang pada Selasa (7/10/2025) kemaren.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sumatera Barat, yang secara intensif mendampingi keluarga korban sejak proses penyidikan di Polresta Padang, hadir dalam sidang tersebut.
LBH GP Ansor mendesak majelis hakim agar menerapkan hukuman maksimal kepada semua pelaku, termasuk empat orang di antaranya yang masih berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
“Kami hadir sebagai wujud implementasi negara hukum yang menjamin akses keadilan bagi semua warga. Kami berharap hakim dapat menerapkan Pasal 76C jo Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 secara maksimal dalam kasus ini,” tegas Eko Kurniawan, Ketua LBH GP Ansor Sumbar, Rabu.
Keempat pelaku yang masih di bawah umur diketahui berinisial I, D, A, dan P.
Berdasarkan Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Anak, pelaku kekerasan yang menyebabkan korban meninggal dunia dapat diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
Eko Kurniawan, yang juga merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas, menyoroti tantangan dalam penanganan kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku.
Ia menyebut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) memang mengedepankan keadilan restoratif dan diversi, namun penerapannya sering kali tidak memuaskan rasa keadilan korban, terutama dalam kasus kejahatan berat.
“Penyelesaian dengan pendekatan restoratif semata bisa jadi tidak cukup. Kejahatan berat yang dilakukan anak terus berulang. Proses hukum terhadap ABH harus mampu mendorong rasa tanggung jawab dan, yang terpenting, memberikan efek jera agar kejadian serupa tidak terulang lagi,” jelas Eko.
Ia menambahkan bahwa hak anak yang telah meninggal dunia tidak boleh dilupakan, termasuk haknya untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan dari stigma negatif pascakejadian.
“Kami juga berharap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta pihak terkait lainnya memberikan atensi khusus terhadap kasus di Padang ini,” ujarnya.
Lebih jauh, LBH GP Ansor Sumbar menilai kasus ini mencerminkan krisis sosial di kalangan remaja.
Menurut Eko, banyak remaja saat ini terjebak dalam pencarian jati diri yang keliru dengan menjadikan kekerasan sebagai sarana membentuk identitas dan mencari eksistensi.
“Seolah-olah dalam dunia yang makin sepi makna, mereka mencari pengakuan dari luka yang mereka timbulkan dan pamerkan. Ini adalah masalah mentalitas yang harus menjadi perhatian kita bersama,” tutup Eko.
(*)
Editor : Pariyadi Saputra