Ketua APSI Sumbar, Afriendi: UU Perkawinan adalah Ruh Indonesia yang Mengakui Keberadaan Agama

×

Ketua APSI Sumbar, Afriendi: UU Perkawinan adalah Ruh Indonesia yang Mengakui Keberadaan Agama

Bagikan berita
Ketua Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Sumatera Barat, Afriendi Sikumbang. (istimewa)
Ketua Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Sumatera Barat, Afriendi Sikumbang. (istimewa)

VALORAnews - Secara filosofis, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah ruh dari keberadaan Indonesia sebagai negara yang mengakui keberadaan agama. Karena, perkawinan adalah perbuatan manusia dalam menjalankan perintah agama dan kepercayaannya. Perkawinan dalam UU 1/1974 itu, bertujuan untuk mewujudkan keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Demikian dikatakan Ketua Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Sumatera Barat, Afriendi Sikumbang, Minggu (21/6/2015), menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait vonis Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, baik uji materi atas Pasal 2 Ayat (1) tentang sahnya perkawinan maupun Pasal 7 ayat (1) dan (2) tentang usia perkawinan.

Menurut Afriendi, mewujudkan perkawinan yang bahagia dan kekal, tanpa dilandasi nilai agama, merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. "Jika ada warga Indonesia yang mau menikah beda agama, tentu tidak bisa dilaksanakan di Indonesia, jika dilaksanakan termasuk perkawinan illegal yang tidak bisa dicacatkan dalam buku perkawinan," terang Afriendi yang juga ketua PKC PMII Sumbar.

Apa yang diputuskan MK terkait Pasal 1 Ayat 2 UU Perkawinan, terangnya, telah sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945. Karena, Indonesia adalah negara berketuhanan yang dijamin oleh sila pertama pancasila. "Indonesia memang bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler maupun liberal,' tegas direktur Afriendy Sikumbang & Associates, Advocate and Legal Consultant itu.

Dikutip dari situs MK, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung MK, Kamis (18/6/2015) menyebutkan, mahkamah berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum dan menolak seluruh permohonan yang diajukan pemohon.

Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa agama menjadi landasan bagi komunitas, individu, dan mewadahi hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara negara, menurut hakim, berperan menjamin kepastian hukum serta melindungi pembentukan keluarga yang sah.

Menurut hakim, bunyi pasal yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukanlah suatu pelanggaran konstitusi.

Hakim berpendapat bahwa perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga aspek spiritual dan sosial.

UU perkawinan ini digugat oleh seorang mahasiswa dan beberapa alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra. Perkara ini teregistrasi dengan Nomor 68/PUU-XII/2014.

Mereka menguji Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama.

Menurut pemohon, pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya nikah beda agama.

Sementara, pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah perempuan ini diajukan Indri Oktaviani, FR Yohana Tantiana W, Dini Anitasari, Sabaniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).

Mereka mengajukan uji materi Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."

Pasal 7 Ayat (2) berbunyi, "Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita."

Pemohon berpendapat bahwa aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan, mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28 B dan Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945. (kyo)

Editor :
Tag: