Candu Politik

*Isa Kurniawan

Jumat, 16 Februari 2018 | Opini
Candu Politik
Isa Kurniawan - Koordinator Komunitas Pemerhati Sumbar

Candu itu racun, karena memabukkan. Tapi adakala candu itu obat, sebagai anti nyeri (analgesik). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) salah satu arti kata candu itu yakni sesuatu yang menjadi kegemaran. Ketagihan.

Candu itu bisa juga berarti residu/sisa. "Candu saja tinggal lagi", ketika kita melihat orang yang mengerjakan sesuatu / menghabiskan hari tanpa arah yang jelas.

Substansi sudah tidak ada, tinggal euphorianya saja lagi.

Dahsyatnya candu itu, sampai-sampai mengakibatkan terjadinya perang, Perang Candu di China dari tahun 1839 sampai dengan 1860, yang terjadi akibat 20.000 ton candu milik Inggris dibakar oleh orang China. Akhirnya pada perang itu China kalah, dan Hong Kong lepas ke tangan Inggris.

***

Adakalanya candu itu bukan berupa zat (narkoba), tapi lebih ke arah sesuatu yang membuat ketagihan. Ada orang bilang candu raun, candra. Orang bilang, telapak kakinya diyakini punya tahi lalat. Ada candu koa (main ceki). Kalau sudah dapat candunya, sulit untuk berbalik. Habis hari sama dia. Pokoknya sesuatu yang membuat ketagihan itu adalah candu.

Belakangan yang parah adalah candu politik. Kadang akibatnya lebih berbahaya dari candu narkoba. Kalau candu narkoba yang rusak itu pemakainya sendiri. Sementara candu politik daya rusaknya masyarakat banyak yang menanggungkan.

Candu politik bisa merusak masyarakat banyak, seperti halnya dalam kontestasi politik, baik legislatif maupun pemilihan kepala daerah atau Presiden. Fitnah, hujatan, caci maki dan hoax pun bertebaran. Termasuk menghalalkan segala cara. Kadang suami-istri, saudara, sahabat, dan lainnya, bisa berantakan hubungannya.

Bagi yang candu politik, kalau tidak membahas politik dalam sehari, demam panas dia. Syahwat itu harus tetap tersalurkan, sekiranya mampet atau tidak sesuai harapan, kemudian tidak pula kuat iman --kadang-- ada yang stres berat dibuatnya.

Yang tidak kuat-kuat iman, tiba-tiba saja kita melihat dia di puncak tower seluler, atau jaringan sutet. Bahkan hilir mudik kampung sambil berteriak-teriak bak orasi di panggung. Kemudian senyum-senyum dan ketawa-ketawa sendiri ketika melihat kantong kresek terbang di dekatnya.

***

Tapi, tidak selamanya candu itu merusak. Candu itu dalam proporsinya berdasarkan rekomendasi yang berkompeten bisa menjadi obat. Maksudnya terkait dengan bahasan di atas dalam batasan tertentu candu politik itu bisa berguna sebagai "obat" asal sesuai dengan takaran.

Kalau pemanfaatannya pas, tidak selamanya politik itu kotor --kata orang. Sebab untuk hidup itu sendiri kita harus berpolitik, yakni bagaimana mencari slah untuk keberlangsungannya. Sehingganya politik itu menjadi bagian dari ibadah. (*)

*Koordinator Komunitas Pemerhati Sumbar

Bagikan:
Muhammad Fadli.
Ketua Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas

Fenomena Politik Keluarga dan Tantangan Demokrasi Kita

Opini - 08 Maret 2024

Oleh: Dr Hary Efendi Iskandar

Dr. Hary Efendi Iskandar

Benarkah Gerakan Kampus Partisan

Opini - 27 Februari 2024

Oleh: Dr. Hary Efendi Iskandar

Nadia Maharani.

Kejahatan Berbahasa di Dirty Vote

Opini - 13 Februari 2024

Oleh: Nadia Maharani

Zulfadhli Muchtar

Adaptasi Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu Bagi UMKM

Opini - 31 Januari 2024

Oleh: Zulfadhli Muchtar