Rahasia Medis di Era Disruption

*Dr dr Rika Susanti SpFM (K)

Senin, 13 April 2020 | Opini
Rahasia Medis di Era Disruption
Dr dr Rika Susanti SpFM (K) - Dekan FK Unand

Berbagi informasi melalui platform media sosial memang menjanjikan kepraktisan. Komunikasi antar dokter atau tenaga kesehatan terkait kondisi pasien pada era disruption 4.0 menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari didalam pelayanan kesehatan. Terkait wabah COVID19 yang melanda Indonesia, pembukaan (disclosure) rahasia medis ini menjadi polemik jika tenaga kesehatan tidak mengelolanya secara berhati-hati.

Penulis sendiri pernah mendapatkan pesan di media sosial yang berisi informasi lengkap pasien COVID19 yang dirawat disebuah rumah sakit milik pemerintah di propinsi Sumatera Barat, bahkan ditambah dengan penyakit berstigma negatif yang diderita oleh mantan pasien tersebut.

Nah, hal ini tentunya menimbulkan kehebohan dimasyarakat karena terbukanya rahasia medis, yang seharusnya menjadi kewajiban tenaga kesehatan untuk menyimpannya. Terbukanya rahasia medis pasien ke khalayak umum ditengah-tengah pandemi COVID19 ini menggiring stigmatisasi negatif bagi penderita dan keluarga yang tentunya akan membawa dampak psikososial yang berat, seperti terjadinya diskriminasi.

Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang baik terhadap landasan etika dan hukum rahasia medis termasuk dalam hal membuka rahasia medis tersebut bagi kalangan kedokteran dan kesehatan.

Didalam melakukan praktik kedokteran, dokter terikat dengan prinsip dasar moral atau kaidah dasar bioetika. Di antara kaidah dasar bioetika tersebut adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Beauchamp dan Childress yaitu menghargai otonomi pasien (respect for autonomy), berbuat baik (beneficence), tidak berbuat yang membahayakan (nonmaleficence) dan adil (justice).

Selain itu terdapat prinsip kejujuran, kesetiaan, kerahasiaan dan privasi dan lain sebagainya. Kewajiban menyimpan rahasia ini merupakan fondasi kepercayaan didalam hubungan terapeutik dokter-pasien.

Kerahasiaan pasien harus dijaga oleh dokter, karena jika dilanggar merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan dan privasi pasien. Didalam deklarasi universal tentang bioetika dan hak manusiawi dari UNESCO artikel 9 juga menyebutkan bahwa "privasi seseorang dan kerahasiaan informasi pribadinya harus dihormati, penggunaan informasi dari seseorang harus sesuai dengan yang disetujuinya dan sesuai dengan hukum internasional tentang hak manusiawi"

Di Indonesia, prinsip kerahasiaan medis/rahasia kedokteran diatur oleh aspek etika melalui kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Sumpah Dokter "Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya" serta peraturan perundang-undangan. Menurut Peraturan Mentri Kesehatan (PMK) nomor 36 tahun 2012 tentang rahasia kedokteran, yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan/profesi.

Lalu, apa sajakah yang menjadi ruang lingkup rahasia kedokteran dan tenaga kesehatan yang dimaksudkan oleh peraturan mentri kesehatan tersebut? Yang termasuk ruang lingkup rahasia kedokteran adalah identitas pasien, hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan kedokteran serta hal lain yang berkenaan dengan pasien.

Sedangkan tenaga kesehatan yang dimaksud wajib untuk menyimpan rahasia medis tersebut adalah dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lain, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan, tenaga lain yang mempunyai akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan, badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan, mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasiltas pelayanan kesehatan.

Wabah COVID19 menyebabkan kekhawatiran semua pihak, sehingga antisipasi terhadap bocornya rahasia medis yang ditulis dan dibagikan melalui media sosial menjadi luput dari perhatian, terutama diawal-awal terjadinya pandemi COVID19. Maksudnya mungkin saja baik, yaitu untuk memangkas waktu koordinasi dengan pihak terkait, namun perlu dipahami bahwa media sosial memang punya kekuatannya sendiri.

Halaman:

*Dekan FK Unand

Bagikan:
Muhammad Fadli.
Ketua Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas

Fenomena Politik Keluarga dan Tantangan Demokrasi Kita

Opini - 08 Maret 2024

Oleh: Dr Hary Efendi Iskandar

Dr. Hary Efendi Iskandar

Benarkah Gerakan Kampus Partisan

Opini - 27 Februari 2024

Oleh: Dr. Hary Efendi Iskandar

Nadia Maharani.

Kejahatan Berbahasa di Dirty Vote

Opini - 13 Februari 2024

Oleh: Nadia Maharani

Zulfadhli Muchtar

Adaptasi Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu Bagi UMKM

Opini - 31 Januari 2024

Oleh: Zulfadhli Muchtar