PADANG (14/5/2023) - Pakar hukum kesehatan, Dr (cand) Firdaus menilai, RUU Ominibus Law Kesehatan merupakan langkah maju dalam dunia kesehatan Indonesia walaupu saat ini tengah jadi pro dan kontra di tengah masyarakat.
Karena, tegasnya, RUU Ominibus Law Kesehatan itu fokusnya sudah menyerupai dengan yang dipraktekan di negara maju. Yaitu fokus ke tindakan prefentif (pencegahan) ketimbang kuratif (pengobatan).
Omnibus Law itu, terang mahasiswa program doktoral Fakultas Hukum Unand ini, hanyalah cara dalam melakukan revisi terhadap sejumlah undang-undang yang saling berkaitan secara bersamaan.
"Metode ini merupakan cara baru di Indonesia, yang dipandang akan menghemat banyak hal, ketimbang merevisi satu per satu UU yang berkaitan dengan kesehatan," ungkap Firdaus saat jadi pemateri pada dialog publik bertemakan 'Penyelenggaraan BPJS Pascapenetapan UU Cipta Kerja dan Menggugat Omnibus Law Kesehatan' di Padang, Ahad.
Dialog publik ini, merupakan rangkaian dari peringatan Hari Buruh (May Day) yang digelar Konferedasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sumbar.
Sebelumnya, telah digelar turnamen futsal yang penyerahan pialanya digelar pada momen peringatan May Day Tahun 2023 yang dipusatkan di aula kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar.
Juga digelor donor darah sekaligus pembagian sembako bagi 240 orang tenaga kerja yang hadir dalam kegiatan itu.
Dalam diskusi publik yang dipandu Sekretaris FSPSI Sumbar, Aguswanto itu, Firdaus menilai, suasana kebathinan RUU Omnibus Law Kesehatan adalah upaya pemerintah memberikan layanan maksimal dan berkualitas pada setiap warga negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Walaupun begitu, Firdaus juga mengkhawatirkan soal hubungan hirarki BPJS dalam system pemerintahan.
Diapun mengurai Pasal 425 pada RUU Omnibus Law Kesehatan yang secara substansi merevisi makna Pasal 7 UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Pada Pasal 425 RUU Omnibus Law Kesehatan, terangnya, BPJS disebutkan bertanggungjawab pada presiden dengan berkoordinasi dengan Kementrian Kesehatan (untuk BPJS Kesehatan) dan Kementrian Tenaga Kerja (BPJS Ketenagakerjaan).
Sementara, Pasal 7 UU BPJS, jajaran direksi disebutkan bertanggungjawab langsung pada presiden. Karena, lembaga ini dibawah presiden langsung sebagai kepala pemerintahan.
"Jika bertanggungjawab langsung pada presiden, artinya BPJS ini setara dengan kementrian atau lembaga. Merujuk RUU Omnibus Law Kesehatan ini, maka tafsiran kata berkoordinasi ini jadi sangat lebar dan dikhawatirkan akan mengganggu keindependenan BPJS," terang Firdaus.
"Sementara, BPJS itu badan usaha yang tidak dipailitkan serta sejumlah privilege lainnya," tambah staf pengajar Universitas Eka Sakti Padang itu.
"Selain itu, jika frasa berkoordinasi ini tetap dimasukan, akan membuat Kementrian Kesehatan atau Kementrian Tenaga Kerja terlalu banyak yang harus diurus dan dikerjakan nantinya," tegas dia.
Kabar Baik bagi Pekerja
Dikesempatan itu, Firdaus juga mengupas pertentangan dalam Pasal 424 RUU Ominibus Law Kesehatan yang secara substansi akan mengubah makna Pasal 13 UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pada Pasal 13 UU SJSN diatur, terang dia, pemberi kerja wajib mendaftarkan penerima upah ke BPJS Kesehatan dan BPJS Tenaga Kerja. Sementara, pekerja pasif, bersifat menunggu.
"Penegakan hukumnya, sulit untuk memaksa pemberi kerja menunaikan kewajibannya, walaupun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang putusannya melindungi hak-hak pekerja dalam soal kesehatan dan keselamatan kerja," tukas dia.
"Kabar baiknya, di Pasal 424 RUU Omnibus Law Kesehatan, pekerja bisa mendaftar secara mandiri yang disertai penjelasan bahwa pemberi kerja wajib membayar iurannya, setelah pekerja mendaftar tersebut secara mandiri," ungkap dia.
Mal Praktak Tak Dibahas
Alumnus UKM Malaysia ini menyayangkan, RUU Omnibus Law Kesehatan ini tak memuat persoalan mal praktek.
"Tak adanya pasal yang membahas soal mal praktek, maka kita kehilangan kesempatan untuk memecahkan persoalan ini dalam konteks mal praktek yang bersifat kriminal (pidana), administrasi dan perdata," terang dia.
"Semuanya itu kan manusia. Suatu ketika, mungkin saja terjadi kesalahan. Jika materi mal praktek ini tak dimasukan dalam RUU Omnibus Law Kesehatan, maka kehilangan kesempatan untuk mendudukan legal standing bagi pelayan kesehatan dan pasien saat berada dalam ranah kuratif (pengobatan)," nilainya.
"Dengan tercantumnya mal praktek dalam RUU Omnibus Law Kesehatan, terbuka kesempatan bagi hakim di pengadilan untuk menilai siapa yang salah atau benar. Karena, kepastian hukumnya sudah jelas," tegas dia.
"Setiap orang potensi jadi pasien (sakit), jadi jangan sampai saat sakit baru dibicarakan. Kita semua bertanggungjawab untuk memberikan kepastian hukum bidang kesehatan pada seluruh elemen masyarakat," tambah dia. (kyo)
Editor : Devan Alvaro