Inilah Tata Cara Pembagian Harta Warisan dalam Adat Minangkabau, Ahli Waris Wajib Tahu!

×

Inilah Tata Cara Pembagian Harta Warisan dalam Adat Minangkabau, Ahli Waris Wajib Tahu!

Bagikan berita
Ilustrasi pembagian harta warisan.
Ilustrasi pembagian harta warisan.

VALORANEWS.COM - Inilah tata cara pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau, ahli waris wajib tahu!.

Warisan merupakan barang yang ditinggalkan oleh seseorang yang sudah meninggal dunia kemudian diterima oleh ahli warisnya.

Di Indonesia sendiri Anda mengenal tiga sistem kekerabatan, yaitu sistem kekerabatan matrilineal, patrilineal, dan parental.

Sistem kekerabatan matrilineal berdasarkan garis keturunan Ibu. Sistem kekerabatan patrilineal berdasarkan dari garis keturunan Ayah.

Sedangkan sistem kekerabatan parental melihat garis keturunan ayah dan ibunya.

Tapi di Minang masyarakatnya menggunakan sistem matrilineal atau berdasarkan garis keturunan ibu sehingga anak dari baris ibu yang menjadi ahli waris atau dinamakan kemenakan.

Sistem kekerabatan matrilineal di masyarakat Minangkabau memiliki 7 (tujuh) ciri, yaitu keturunan dihitung menurut garis Ibu, suku terbentuk menurut garis Ibu, tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya.

Kemudian, kekuasaan di dalam suku menurut teori terletak serangan Ibu tetapi jarang sekali dipergunakannya, yang berkuasa adalah saudara

laki-lakinya.

Berikutnya, perkawinan bersifat materi lokal yaitu suami mengunjungi istrinya, hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mama kepada kemenakannya dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

Sebelum masuknya Islam ke Ranah Minang konsep adat yang digunakan dalam sistem kewarisan di masyarakat Minangkabau adalah sistem kolektif.

Harta warisan diturunkan kepada garis keturunan ibu atau matrilineal yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh anggota kaum.

Hal inilah yang menimbulkan perdebatan, karena ada yang berpendapat pewarisan harta di Minangkabau bertolak belakang dengan hukum waris Islam dan ada juga yang berpendapat bahwa pewarisan harta di Minangkabau sudah sesuai dengan hukum waris Islam.

Pendapat ini menganggap bahwa harta pusaka tinggi keberadaannya sama dengan harta wakaf di Islam.

Namun akhirnya dalam Kongres Badan Permusyawaratan alim ulama, ninik ulama, dan cadiak pandai Minangkabau pada 4-5 Mei tahun 1952 di Bukittinggi dan juga seminar hukum adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada 21-25 Juli tahun 1968 menggunakan pendapat yang

memisahkan antara harta pusaka dan harta pencaharian.

Untuk harta pusaka diberlakukan hukum adat, yaitu diwaris turun temurun secara kolektif. Menurut garis keturunan itu.

Sedangkan untuk harta pencaharian berlaku hukum waris Islam faraid.

Pendapat ini juga diperkuat oleh Buya Hamka sebagaimana yang ditulis dalam bukunya yang berjudul "Ayahku" dan akhirnya klasifikasi harta di Minangkabau dibedakan menjadi dua jenis.

Yaitu, harta Pusako tinggi yang diwariskan sesuai adat Minangkabau dan harta pusako randa yang diwariskan sesuai dengan hukum syariat Islam.

Harta pusako tinggi adalah harta kaum yang diterima secara turun-temurun dari ninik ke mamak, dari mamak kepada kemenakan menurut garis keturunan Ibu.

Harta ini diwariskan secara kolektif berdasarkan keturunan ibu yang sesuai dengan adat Minangkabau.

Harta pusako tinggi tidak bisa dibagi namun bisa dimanfaatkan secara bergantian. Harta pusako tinggi juga tidak dapat diperjualbelikan atau

digadaikan demi kepentingan pribadi atau untuk kepentingan beberapa orang.

Sedangkan harta pusako randah adalah harta yang didapatkan dari hasil kerja atau usaha suami, maupun istri selama hidupnya.

Harta pusako Anda sendiri bisa berubah menjadi harta pusako tinggi jika anak atau ahli waris tidak menjual atau menggadaikannya, melainkan memanfaatkan dan mewariskannya secara turun-temurun secara adat sampai asal-usulnya tidak dipertanyakan lagi.

Harta pusako randah ini diwariskan sesuai hukum faraid atau sesuai dengan hukum syariat Islam berarti harta pencaharian suami dan istri

diwariskan kepada anak laki-laki maupun perempuan.

Namun jika harta pusako randah tidak dibagi maka akan menjadi harta pusako tinggi yang harus diwariskan sesuai hukum adat Minang.

Untuk harta pusako randah dan pencaharian berlaku sistem waris Islam dengan asas iqbalri bilateral, individual, keadilan, perimbang dan semata akibat kematian.

Sedangkan untuk asas kewarisan, Minangkabau juga mempunyai beberapa asas tertentu dalam kewarisan.

Asas-asas itu banyak bersandar pada sistem kekerabatan dan harta bendaan karena hukum kewarisan di Minangkabau ditentukan oleh struktur kemasyarakatan.

Adat Minangkabau mempunyai pengertian sendiri tentang keluarga dan cara perkawinan. Maka muncullah ciri khas struktur kekerabatan dalam

adat Minangkabau yang juga menimbulkan bentuk hukum kewarisannya.

Amir Syarifudin menjelaskan, ada tiga asas pokok dalam hukum kewarisan adat Minangkabau, yaitu asas unilateral adalah hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan. Kekerabatan melalui jalur Ibu.

"Harta pusaka dari atas diterima dari nenek moyang melalui garis ibu dan ke bawah diteruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan," katanya.

Asas kolektif yaitu bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah orang perorang tetapi suatu kelompok secara bersama-sama berdasarkan hal ini. Maka harta pusaka tidak dibagi-bagi melainkan diwariskan secara kolektif.

Asas keutamaan yaitu bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan dalam peranan untuk mengurus harta pusaka terdapat

tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibandingkan dengan pihak yang lain dan selama yang berhak masih ada maka yang lain belum dapat menerima.

Dalam sistem perekonomiannya, adat Minangkabau juga mengenal hibah atau pemberian.

Lembaga hibah ini berkembang di Minangkabau setelah Islam masuk. Hibah dalam adat Minangkabau ada 3 macam, diantaranya hibah laleh, hibah bakeh dan hibah pampeh.

Hibah laleh adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain untuk selama-lamanya. Sifatnya adalah tetap dan dimiliki selama-lamanya oleh orang yang menerima hibah tersebut dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun.

Hibah ini bisa dari ayah kepada anak, dari mama kepada kemenakan, dari bako kepada anak pisang dan sebagainya.

Syarat hibah laleh ini baru bisa dilaksanakan apabila telah ada kesepakatan para ahli waris baik ahli waris bertali darah maupun ahli waris bertali adat.

Hibah bakeh adalah pemberian dari seorang bapak kepada anak tetapi dengan persetujuan kemenakan. Harta yang dihibahkan ini hanya seumur anak tersebut. Ketika sang anak meninggal maka harta tersebut kembali menjadi milik kemenakan tanpa ada syarat.

Sedangkan hibah pampeh adalah pemberian dari seorang mama kepada anaknya atau orang dengan syarat yang menerima hibah memberikan pampeh atau tebusan kepada pihak mama dan suatu saat kemenakan boleh mengambil kembali harta tersebut.

Dengan mengembalikan tebusan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam adat Minangkabau konsep warisan yang berlaku adalah kewarisan kelembagaan atau kolektif.

Artinya, suatu harta diturunkan kepada keturunan dalam garis matrilineal secara kolektif yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh anggota kaum.

Setelah perkembangan Islam barulah adat Minangkabau mengalami perubahan dalam sistem kewarisannya ,yaitu berlakunya faraid terhadap harta pusaka rendah yang mengikuti syariat hukum Islam.

Berdasarkan penjelasan ini, Anda bisa melihat bahwa sekarang sistem kewarisan Minangkabau telah sejalan dengan hukum Islam tanpa menghapuskan nilai-nilai adat.

Apalagi dalam persoalan pewarisan harta pusako randah atau harta pencaharian di Minangkabau yang memang sudah menerapkan sistem pewarisan hukum Islam atau faraid.

Itulah sistem pembagian harta warisan dalam adat Minangkabau. (*)

Editor : VN-1
Sumber : YouTube Kaba Rantau Official
Tag: