JAKARTA (5/1/2025) - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia menegaskan, penghapusan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden berdasarkan Putusan MK, harus dimaknai dalam perspektif lebih luas.
“Penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wapres bukanlah jawaban yang dapat menyelesaikan seluruh permasalahan pemilu kita,” ungkap Doli.
Hal itu dikatakannya, sekaitan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan Ketua MK, Suhartoyo Kamis (2/1/2025) terkait putusan atas perkara 62/PUU-XXI/2023.
Dalam amarnya, hakim MK mengambil keputusan berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden atau PT minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya, sebagai syarat pencalonan. MK memutuskan menghapus syarat tersebut.
Ketentuan PT itu, tertuang dalam Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hakim MK menilai, beleid itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945.
Menurut Doly, presidential threshold hanya salah satu dari beberapa isu yang menjadi bagian pembahasan penyempurnaan sistem pemilu.
Variabel-variabel itu tidak dapat berdiri sendiri sehingga perubahan dalam satu variabel dipastikan akan berdampak pada variabel lain.
Namun, dia menilai, penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden jadi 0 persen ini, harus jadi momentum tepat untuk segera memperbaiki sistem pemilu.
Karena itu, ia menyerukan pemerintah dan DPR untuk segera memulai revisi Undang-Undang Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik.
Politisi Fraksi Partai Golkar ini menegaskan, penghapusan presidential threshold akan berdampak pada antara lain, partai politik, pencalonan presiden-wakil presiden dan daerah pemilihan. Hal ini termasuk Putusan Nomor 63/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas parlemen.
“Putusan penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wapres itu tidak akan punya makna besar apabila tidak diikuti penyempurnaan sistem pemilu. Revisi tiga undang-undang yang dikenal sebagai paket UU Politik bahkan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025,” terangnya.
“Semua putusan selalu ditutup dengan perintah kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjuti dengan revisi undang-undang. Bahkan, dalam putusan terakhir ini, lebih tegas dan spesifik lagi bahwa putusan itu harus diikuti dengan upaya rekayasa konstitusional,” ujar Doli.
Ia berkeyakinan tujuan dari seluruh pemohon uji materi tentang presidential threshold, tidak hanya untuk menghilangkan ambang batas pencalonan presiden dan wapres.
Penghapusan ambang batas itu adalah bagian dari tujuan akhir agar demokrasi lebih kuat, sehat, berkualitas, dan berkontribusi terhadap kemajuan bangsa.
“Sekarang ’bola’ ada di tangan Presiden dan para ketua umum partai politik agar mendorong pemerintah dan DPR untuk bisa menyegerakan agenda pembahasan revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik,” ujar Ketua Komisi II DPR RI periode 2019-2024 ini.
Mengejutkan, Setelah Puluhan Gugatan
Sementara, Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir berharap, putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dapat jadi angin segar bagi sistem demokrasi perpolitikan di tanah air.
Meski demikian, Putusan MK itu jangan sampai malah membuat karut-marut baru dalam pelaksanaan Pemilu ke depannya.
“Bukan nantinya malah membuat persoalan baru di sistem demokrasi Indonesia kita. Mudah-mudahan dengan ada putusan tersebut sistem kita, demokrasi kita akan bisa semakin baik,” katanya di TMP Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (3/1/2025).
Politisi Fraksi Partai Golkar ini pun mengatakan pihaknya akan menaati putusan tersebut. DPR akan melaksanakannya sesuai putusan MK.
“Kita tunggu saja nanti pemerintah dan DPR seperti apa, ini kan belum dibahas, yang pasti perintah-perintah daripada putusan tersebut sudah ada,” ungkap dia.
"Demikian juga untuk mendengarkan aspirasi-aspirasi dari masyarakat, dan juga para akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat, kami akan taat hukum dan akan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut," sambungnya.
Adies menyampaikan, dalam putusan itu, MK mengusulkan kepada DPR dan pemerintah untuk melakukan rekayasa konstitusional atau constitutional engineering sebagaimana tercantum dalam putusan poin kelima. Nantinya, kata dia, pelaksanaan pilpres bisa disederhanakan dalam hal jumlah paslon.
“Jadi, constitutional engineering, rekayasa konstitusi, di mana rekayasa-rekayasa ini nanti bisa meminimalisir calon-calon yang ingin maju dan juga lebih membuat simpel peraturan-peraturan tentang pemilihan presiden yang akan datang,” katanya.
Adies Kadir mengaku cukup terkejut atas putusan MK itu. Sebab, dalam gugatan mengenai presidential threshold sebelumnya, katanya, MK selalu menolak gugatan tersebut.
“Putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah kado yang mengejutkan di awal tahun 2025, di mana setelah puluhan gugatan, kalau tidak salah sekitar 32 atau 33 gugatan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi selama ini selalu ditolak,” ucapnya.
“Kemudian kali ini satu gugatan, kalau tidak salah nomor 62 PUU itu dikabulkan. Itu sesuatu yang sangat mengejutkan bagi kami, baik dari ormas MKGR maupun di Partai Golkar,” katanya. (*)
Editor : Mangindo Kayo