Anggota Komisi XIII DPR Ini Nilai Gagasan Kontroversi Gubernur Jabar Bertentangan dengan Prinsip HAM

×

Anggota Komisi XIII DPR Ini Nilai Gagasan Kontroversi Gubernur Jabar Bertentangan dengan Prinsip HAM

Bagikan berita
Anggota Komisi XIII DPR RI, Pangeran Khairul Saleh. (humas)
Anggota Komisi XIII DPR RI, Pangeran Khairul Saleh. (humas)

JAKARTA (6/5/2025) - Anggota Komisi XIII DPR RI, Pangeran Khairul Saleh menegaskan, wacana menjadikan prosedur vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (Bansos) dan program militerisasi bagi siswa bermasalah yang digagas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial.

Menurut dia, mewajibkan vasektomi demi mendapatkan Bansos, tidak dapat dibenarkan dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi HAM dan nilai-nilai Pancasila.

“Bansos adalah hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dikaitkan dengan prosedur medis yang bersifat pribadi dan permanen. Usulan tersebut, tidak hanya cacat secara etika tetapi juga menabrak prinsip-prinsip hukum dan kemanusiaan,” tegas Pangeran pernyataan tertulis, Selasa.

Meskipun vasektomi secara medis dapat berperan dalam pengendalian kelahiran, kata Pangeran, tetapi hal itu merupakan pilihan pribadi yang tidak bisa dipaksakan.

“Terlebih jika vasektomi dikaitkan dengan pemenuhan hak dasar seperti Bansos. Usulan seperti ini jelas melanggar HAM, karena memaksa seseorang untuk menjalani prosedur medis yang bersifat pribadi sebagai prasyarat memperoleh hak dasar,” tegasnya.

Diketahui, vasektomi adalah prosedur kontrasepsi permanen pada pria yang dilakukan dengan memotong atau menyumbat saluran sperma (vas deferens), sehingga sperma tidak dapat mencapai air mani saat ejakulasi.

Adapun Dedi Mulyadi mengusulkan agar vasektomi atau program Keluarga Berencana (KB) pria itu, dijadikan syarat bagi masyarakat prasejahtera untuk menerima Bansos.

Dedi menyebut, tujuan kebijakan ini adalah untuk menekan angka kelahiran dan menurunkan kemiskinan.

Menurut Dedi, banyak permintaan bantuan kelahiran yang nilainya tinggi, terutama untuk anak keempat atau kelima yang sering berasal dari keluarga miskin.

Karena itu, ia mengusulkan pemberian insentif sebesar Rp500 ribu bagi warga yang bersedia melakukan vasektomi, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keluarga.

Dedi pun berencana menjadikan kepesertaan KB sebagai syarat bagi masyarakat untuk menerima bantuan mulai beasiswa hingga berbagai bantuan sosial dari provinsi.

Hal ini bertujuan pemberian bantuan pemerintah, termasuk dari provinsi, lebih merata dan tidak terfokus pada satu pihak atau satu keluarga saja, mulai dari bantuan kesehatan, kelahiran, hingga bantuan lainnya.

Terkait rencana Dedi Mulyadi itu, Pangeran mengingatkan pada masa Orde Baru, program KB pernah dijalankan dengan tekanan administratif dan minim partisipasi publik, yang akhirnya menimbulkan trauma sosial jangka panjang.

“Saya khawatir hal serupa bisa terulang jika pendekatan seperti ini kembali digunakan tanpa memperhatikan konteks sosial dan hak individu,” terangnya.

“Menjadikan kepesertaan KB sebagai syarat bagi masyarakat miskin mendapat bantuan dari Pemerintah juga terkesan diskriminatif,” ucap Pangeran.

Selain persoalan vasektomi, Pangeran juga mengkritisi wacana militerisasi anak di sekolah melalui program-program kedisiplinan berbasis militer yang mulai dijalankan di wilayah Jabar.

Ia mengatakan, langkah tersebut bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan prinsip pendidikan yang humanis.

“Anak-anak harus tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan mental dan fisik secara utuh, bukan ditanamkan doktrin kekerasan atau kedisiplinan ekstrem,” tutur Legislator dari Dapil Kalimantan Selatan I itu.

“Kebijakan militerisasi siswa sekolah melanggar hak-hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Artinya mengirimkan siswa ke barak militer itu juga melanggar HAM,” sambung Pangeran.

Ia pun mendorong agar seluruh kebijakan daerah yang menyangkut moral, dan masa depan masyarakat dikaji secara terbuka melalui diskusi publik yang melibatkan tokoh agama, pakar medis, masyarakat sipil, dan lembaga legislatif.

Dalam membuat kebijakan, Pangeran meminta Pemda tak hanya menitikberatkan pada unsur populis semata.

“Negara tidak boleh memperlakukan rakyatnya sebagai objek eksperimen kebijakan,” tukasnya.

Meski pengiriman siswa bermasalah ke barak militer diklaim sebagai bentuk pembinaan karakter, Pangeran menilai pendekatan itu berisiko menciptakan normalisasi kekerasan dan militerisasi terhadap anak-anak.

"Semestinya Pemda membina karakter generasi muda melalui pendekatan pendidikan humanis, bukan dengan model yang cenderung represif dan mengarah pada militerisme.”

“Anak-anak bukan objek eksperimen kebijakan yang tidak berbasis kajian,” pungkas Pangeran. (*)

Editor : Mangindo Kayo