“Kalau MK dinilai punya kewenangan untuk memproduksi suatu undang-undang, ya dilegitimasikan saja sekalian. Kira-kira begitu,” kata Khozin.
Selain Khozin, sejumlah legislator mengkritik putusan MK soal pemisahan Pemilu.
Anggota Komisi V DPR Fraksi Partai Gerindra, Supriyanto bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merusak siklus demokrasi Indonesia.
Supriyanto menyoroti implikasi jeda waktu, imbas putusan tersebut. Menurut dia, pemilihan anggota DPRD yang tidak lagi berlangsung setiap lima tahun sekali, bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo pada Kamis, 26 Juni 2025, mahkamah memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional terpisah dengan tingkat daerah.
Pemilu nasional mencakup pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Adapun perkara 135 ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem.Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029.
MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional. (*)
Editor : Mangindo Kayo