LBH Padang Laporkan Penyidik Mentawai ke Propam: Warga Adat Ditahan Meski Sudah Berdamai

×

LBH Padang Laporkan Penyidik Mentawai ke Propam: Warga Adat Ditahan Meski Sudah Berdamai

Bagikan berita
Dua warga adat Mentawai yang ditahan oleh penyidik Satreskrim Polres Kepulauan Mentawai. (Dok. LBH Padang)
Dua warga adat Mentawai yang ditahan oleh penyidik Satreskrim Polres Kepulauan Mentawai. (Dok. LBH Padang)

PADANG (21/10/2025) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang melaporkan penyidik Satuan Reserse Kriminal Polres Kepulauan Mentawai ke Propam Polda Sumatera Barat.

Laporan itu menyusul penahanan dua warga adat Mentawai, Nulker dan Rusmin, yang tetap mendekam di tahanan meski telah menempuh jalan damai melalui mekanisme restorative justice.

“Alih-alih menghentikan perkara, penyidik justru memperpanjang masa penahanan. Ini bentuk pengabaian terhadap prinsip kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat adat,” ujar Kepala Divisi Advokasi LBH Padang, Adrizal, Selasa.

Kasus ini berawal dari sengketa adat di wilayah Sipora Utara, Mentawai, yang melibatkan tuduhan santet terhadap dua warga.

Persoalan denda adat atau tulo sempat difasilitasi oleh seorang pejabat publik, namun berujung pada hilangnya hak tanah kelompok adat Tatubeket.

Kekecewaan atas keputusan itu membuat sejumlah warga mendatangi kantor Camat Sipora Utara pada 6 November 2024.

Dalam pertemuan itu, Nulker dan Rusmin terlibat perdebatan panas dengan pejabat publik.

Tak ada kekerasan serius, namun keduanya dilaporkan dengan pasal berlapis: Pasal 211, 212, 214, dan 170 KUHP.

Menurut LBH Padang, proses mediasi telah dilakukan secara kekeluargaan dan menghasilkan kesepakatan damai tertulis yang ditandatangani pada 13 Oktober 2025.

Pelapor bahkan telah mencabut laporannya kepada penyidik Polres Mentawai.

Namun, penyidik justru memperpanjang masa penahanan kedua warga tersebut.

“Semua unsur perdamaian sudah terpenuhi, bahkan pelapor telah memberi klarifikasi langsung. Tapi penyidik tetap menahan mereka tanpa kepastian hukum,” tegas Adrizal.

LBH Padang menilai langkah penyidik menolak perdamaian hanya karena tidak tercantumnya klausul ganti rugi merupakan kekeliruan hukum.

“Surat damai itu sudah disepakati kedua belah pihak. Biaya yang dimaksud hanyalah administrasi, bukan ganti rugi hukum,” ujarnya.

Menurutnya, tindakan penyidik memperpanjang penahanan mencerminkan lemahnya profesionalisme dan mengesampingkan semangat keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021.

“Penahanan terhadap warga adat ini memperlihatkan wajah hukum yang kaku dan jauh dari nilai kemanusiaan. Hukum pidana seharusnya menjadi jalan terakhir (ultimum remedium), bukan alat untuk menghukum secara emosional,” tutur Adrizal.

LBH Padang menegaskan akan menempuh langkah hukum dan etik lanjutan untuk memastikan akuntabilitas aparat.

“Keadilan tidak lahir dari rasa takut, tetapi dari keberanian untuk menghormati hukum dan mendengar suara rakyat,” pungkasnya. (*)

Editor : Pariyadi Saputra