Sedangkan, jika MK bertindak sebagai positive legislator, permintaan rekayasa konstitusi kepada DPR dan pemerintah tak diperlukan.
Oleh karena itu, DPR dan pemerintah berkewajiban merespons putusan MK yang memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi.
“Sebetulnya kalau MK memposisikan diri tidak menjadi negative legislator, ya tidak hanya membatalkan norma Pasal 222, tapi jadi positive legislator membentuk norma.”
“Debat ini menjadi ada karena di pertimbangan hukumnya diminta kami melakukan constitutional engineering. Karena itu, percayalah, Komisi II akan melakukan,” terang Rifqi.
Menurutnya, rekayasa konstitusi yang akan dilakukan DPR dan pemerintah ditujukan untuk mengantisipasi pasangan capres-cawapres yang terlalu banyak.
Maka dalam pertimbangan hukumnya, MK meminta agar dilakukan formulasi agar hak konstitusional warga negara dapat terpenuhi.
“Yang minta jangan terlalu banyak tuh, enggak ada pernyataan dari DPR. Pernyataan itu di pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi No 62 Tahun 2024 yang kira-kira bunyinya, kalau partai politik peserta pemilu ada 30, maka amat memungkinkan jumlah pasangan capres-cawapres juga 30.”“Karena itu, pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan pemerintah diberikan tugas oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan apa yang mereka sebut sebagai constitusional engineering atau rekayasa konstitusional dengan lima order atau lima guidance,” jelas Rifqi.
Untuk itu, Komisi II DPR telah menjadwalkan rapat bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan lembaga penyelenggara Pemilu, untuk merumuskan norma yang diminta dalam putusan MK.
Termasuk melibatkan pegiat kepemiluan dan akademisi dalam memformulasikan norma baru dalam UU Pemilu.
Editor : Mangindo Kayo