Utang adalah racun. Racun kehidupan. Tapi para rentenir membalut racun itu dengan salut yang dirasakan manis oleh para pengutang.
Mereka juga dicitrakan sebagai orang yang dapat dipercaya. Atas kepercayaan itulah rentenir bersedia memberi mereka utang. Mereka tidak menyadari pada waktunya mereka akan kolaps digerogoti oleh racun utang itu.
Survei yang dilakukan MoneySavingExpert.com tahun 2014 menemukan 35% orang yang sakit mental adalah yang terlibat utang parah.
Hanya 6% dari mereka yang terjerat utang yang bebas dari penyakit mental.
Sementara survei yang dilakukan oleh penasehat utang dari Christians Against Poverty tahun 2013 menemukan 43% pengutang membutuhkan bantuan medis. 76% pasangan mengatakan hubungannya terganggu, dan 36% berpikir hendak bunuh diri (Lewis, Keefe & Curphey, 2014: 6).
Sebuah artikel berjudul The Emotional Effects of Debt yang dimuat oleh situs https://www.thesimpledollar.com/the-emotional-effects-of-debt/ menjelaskan kajian Dr. John Gathergood dari University of Nottingham tentang hubungan antara berutang dengan depresi.Dari kajian itu Gathergood menemukan mereka yang berjuang melunasi utang mengalami masalah mental dua kali lebih berat dibandingkan mereka yang menderita penyakit mental lainnya. Mereka mengalami depresi dan ketakutan yang parah.
Tulisan itu juga menjelaskan bawa menurut survei Federal Reserve Board, rata-rata mahasiswa di AS lulus dengan beban utang USD 40.000. Seperlima dari mereka meminjam USD 50.000, dan 5,6% mempunyai utang lebih dari USD 100.000.
Artinya, pendidikan pun sekarang dijadikan umpan oleh rentenir untuk menjebak mangsanya.
Selain itu juga dijelaskan penelitian Social Science & Medicine tentang utang rumah tangga yang mempunyai dampak pada kesehatan mental dan fisik.