Di usia senja, Pramoedya mengakui kesalahannya di masa lalu. Ia mengirim putrinya, Astuti dengan calon suaminya, Daniel yang mualaf, untuk belajar Islam pada Hamka sebelum mereka menjadi suami istri.
Apakah Hamka menolak?
Tidak..!
Justru dengan hati yang sangat lapang Hamka mengajarkan ilmu agama pada anak dan calon menantu Pramoedya tanpa sedikit pun mengungkit-ungkit kekejaman Pramoedya.
Astuti, anak perempuan Pramoedya pun menangis haru melihat kebesaran hati ulama besar ini. Hamka malah menjadi saksi atas pernikahan mereka.
Saat Mohammad Yamin sakit keras, ia meminta orang terdekatnya untuk memanggil Hamka.
Dengan segala kerendahan hati dan penyesalannya pada ulama besar ini, Mohammad Yamin meminta maaf atas segala kesalahannya.Dalam kesempatan nafas terakhirnya, tokoh besar Indonesia, Mohammad Yamin pun meninggal dunia dengan ucapan kalimat-kalimat tauhid yang dituntun oleh Hamka.
Begitu juga dengan Soekarno, Hamka justru berterima kasih dengan hadiah penjara yang diberikan padanya karena berhasil menulis buku yang menjadi dasar umat Islam dalam menafsirkan Al Quran.
Tak ada marah, tak ada dendam, ia malah merindukan tokoh besar Indonesia, proklamator bangsa karena telah membuat ujian hidup sang Buya menjadi semakin berliku namun sangat indah.