Kesalahpahaman terkait Politik Identitas

Foto Muhammad Syarif
×

Kesalahpahaman terkait Politik Identitas

Bagikan opini

KPU dan Bawaslu perlu menghindari bumerang perpecahan masyarakat ini akan terjadi. Sebagaimana contoh salah seorang dari partai yang akan ikut berkompetisi pada pesta demokrasi 2024 yang dikutip di https://news.detik.com/pemilu/d-6579919/partai-ummat-kami-politik-identitas-bikin-bawaslu-beri-protes-keras yang mengungkapkan bahwa tanpa unsur agama, politik akan kehilangan arah. Dia menilai memisahkan agama dengan politik adalah 'proyek sekularisme'.

"Tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam moralitas yang relatif dan etika yang situasional, ini adalah proyek besar sekularisme. Pernyataan pertama itu pun sampai ke telinga Bawaslu.

Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan pihaknya akan memberi teguran keras untuk partai yang mengedepankan politik identitas. "Wah itu, kami protes keras itu, kami akan tegur yang bersangkutan kalau ngomong seperti itu, kita punya keprihatinan bersama, kita punya concern bersama untuk tidak menggunakan politisasi identitas."

Ada banyak hal contoh politik identitas yang digunakan para pencapai misi mereka seperti (1) Berdasarkan catatan Sumanto Al Qurtuby dalam artikelnya (MAARIF, Vol. 13, No. 2, 2018, hlm. 51), politik agama di Indonesia sempat marak pada kisaran 1950-an. Saat itu, politik berbasis agama, etnis, hingga ideologi digunakan oleh masing-masing partai politik.

Kemudian pada sejarah politik agama yang terjadi di era Soeharto. Terdapat pengumuman tentang dua program yang mempolitisir agama di dalamnya. Di antaranya ada yang menggunakan kutipan ayat, dalil, wacana keagamaan, hingga berbagai simbol keagamaan lain.

(3) Partai PPP misalnya, kala itu mereka menggunakan lambang Ka'bah demi mendapatkan dukungan. Lebih dari itu, orang-orang yang tidak mendukung diklaim oleh mereka sebagai umat Islam yang kualitas keimanannya diragukan.

(4) Pada masa kepemimpinan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, terjadi juga beberapa ujaran yang berusaha menjatuhkannya. Salah satu desis tersebut dilantukan bahwa perempuan tidak boleh memimpin negara. https://tirto.id/gAt4. Tentu banyak hal lain narasi yang bisa digunakan sebagai cara sebagian para politisi dalam mencapai tujuan mereka.

Hal ini tentu menjadi perhatian yang serius bagi KPU dan Bawaslu dalam menyikapi sehingga tetap menjaga keharmonisan dalam masyarakat. KPU dan Bawaslu perlu memikirkan cara dan teknis yang lebih tegas dalam mengantisipasi ini tejadi.

Sebagaimana Visi dari Komisi Pemilihan Umum adalah menjadi penyelenggara Pemilihan Umum yang mandiri, non-partisan, tidak memihak, transparan, dan profesional, berdasarkan asas-asas Pemilihan Umum dengan melibatkan rakyat seluas-luasnya, sehingga hasilnya dipercaya masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut tentu menjadi tugas KPU dalam menjadi penyelenggara pemilu yang professional dan tidak memihak pada suatu identitas tertentu sehingga terbentuk hasil yang dipercaya oleh masyarakat.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini