Apalagi kalau kelak masih harus membayar kepada perusahaan platform digital. Sudah pasti mereka bakal menggali kuburnya sendiri alias akan mati bangkrut. Hanya sebagian kecil yang bertahan.
Dalam bahasa yang lebih mudah, berlakunya Perpers itu bukannya membuat eko sistem pers Indonesia tumbuh subur dan sehat, malah sebaliknya jadi virus pembunuh masal terhadap pers Indonesia. Pers Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, akan bertumbangan satu persatu.
Apakah yang bertahan inilah yang disebut sebagai penghasil “karya jurnalistik berkualitas?”
Tentu tidak.
Ini masuk alasan kedua. Pola itu selain lebih liberal dari liberalisme, juga menjadikan konfigurasi kehadiran pers tidak lagi berwarna.
Karya pers atau karya jurnalistik yang pendapat nya berlain lainan , karena dinilai “tidak berkualitas” sudah “dibunuh” lebih dahulu lewat Perpers. Maklumlah harus bayar ke perusahaan platform digital.Dalam keadaan jumlah pers cuma sedikit, pers justeru akan lebih mudah dikontrol negara atau pemerintah.
Pada titik ini kehadiran pers digital yang harusnya juga selaras dengan pertumbuhan demokrasi, malah mematikan demokrasi.
Sadar atau tidak, mungkin ini mendekatkan kita ke doktrin komunis China.
Biarkanlah semua warna bunga (teratai) tumbuh, tapi nanti hanya bunga (teratai) hitam saja yang dibiarkan bertahan berkembang. Lainnya dibabat dan dikondisikan tidak tumbuh.