Jika kemudian muncul pertanyaan, mengapa aksi-aksi keprihatinan civitas akademika di berbagai Perguruan Tinggi itu muncul di penghujung jadwal kampanye, hal berkaitan dengan sikap Presiden Joko Widodo yang semakin “terbuka” dan tanpa malu-malu mendukung pasangan 02.
Jadi gerakan petisi civitas akademika tersebut merupaka respon spontan akibat “cawe-cawe” politik Presiden Jokowi.
Perasaan dan sinyal bathin yang satu-frekuensi inilah yang mendorong berbagai kampus untuk tidak berdiam diri secara spontan.
Justru kalau pihak kampus berdiam diri, dan tidak peduli dengan keadaan sekitarnya, maka justru itu dapat disebut dengan “pengkhianatan” intelektual, karena pada hakikatnya para intelektual dan cendikiawan yang yang bermukim di kampus-kampus adalah menjadi kewajiban dan tanggungjawabnya menjaga nilai kebenaran, etik dan moral (Benda; 2007).
Dengan demikian, berbagai aksi dan unjuk kepriahatian tersebut adalah sebuah keniscayaan dan tanggungjawab sejatinya. Bukan sebaliknya dianggap sebagai sesuatu yang tidak diharapakan dan tidak wajar.
Barangkali pihak-pihak yang menuduh kampus partisan justru patut di pertanyakan, apakah pihak yang menuding tersebut bermaksud mendorong keluar dari pakem yang semestinya ada.
Tudingan kampus yang partsisan oleh oknum penguasa senyatanya menimbulkan “kegusaran” dikalangan elite diberbagai perguruan tinggi.Pernyataan ini jelas mengundung makna kontroversial, dan syarat dengan tekanan sehingga para pimpinan kampus beramai-ramai melakukan klarifikasi bahwa gerakan spontan keprihatinan tidak mengatasnamakan institusi, bahkan ada pula yang secara terbuka dan tanpa malu-malu “menuding” secara implisit, gerakan keprihatinan tersebut akan “memperlebar” ruang kegaduhan politik menjelang pemilu.
Sungguh hal yang amat disayangkan dan menyedihkan.
Bila pun gerakan moral kampus disebut partisan dan dinilai memiliki “pretensi” politik tertentu, maka dalam konteks ini bahwa itu terjadi dengan proses alamiah, dimana hakikat kebenaran pasti akan mencari jalannya sendiri.