Bilamana perjalanan atas jalan kebenaran yang yang bersendikan pada unsur objektivitas, moral, etik, keadilan, imparsial dan seterusnya kemudian menemukan pasangannya, dan menyisihkan unsur-unsur ketidakbenaran, maka begitulah jalan kebenaran itu beroperasi.
Jika pun boleh dituding gerakan kampus partisan, maka sesungguhnya dalah gerakan itu mengarah pada makna partisan pada jalan kebenaran sejati, dimana beban dan tanggungjawabnya mendorongnya untuk berpartisipasi aktif pada jalan-jalan hakikat penciptaan ummat manusia, bukan partisan pada makna berpartisipasi aktif pada orietasasi dunia yang penuh tipuan, sempit, jangka pendek, dan tak abadi.
Menjadi pejabat politik dan sekaligus sebagai pejabat publik seyogyanya mempatkan diri sebagai rujukan dan tauladan publik, bukan sebaliknya bukan menjadi peng-“gaduh” publik.
Begitu pula dengan para rektor sebagai pimpinan di lembaga yang merasa “setegah hati,” ragu-ragu dan bahkan yang ada yang merasa takut dan khawatir untuk menyuarakan dan menegakkan nilai-nilai keintelektualan dan kecendikiawanan maka ini menjadi petanda awal bahwa telah terjadi pengkhianatan.
Yaitu, pengkhianatan intelektual atau pengkhianatan kecendikiawanan (Benda: 2007).Bila bibit-bibit pengkianatan itu telah mulai tumbuh dan kemudian berkembang, serta tumbuh subur dalam diri para inteletual dan cendikiawan, maka tidak dapat dibayangkan bagaimana dengan mahasiswa sebagai anak didiknya.
Jika diluar sana, pejabat politik dan pejabat publik tidak lagi dapat diharapkan menjadi rujukan dan imam publik oleh mahasiswa, tentu amat diharapkan di kampus mereka masih memiliki harapan, mamih menemukan ketauladan dan imam publik ditengan kelangkaan sosok orang diharapkan menjadi teladan.
Wallahu’alam. (*)