Kebebasan Pers Tak Pernah Padam

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Kebebasan Pers Tak Pernah Padam

Bagikan opini
Ilustrasi Kebebasan Pers Tak Pernah Padam

Negara harus menjadi pelindung, bukan lawan kebebasan pers. Bukan hanya karena konstitusi mengamanatkannya, tetapi karena demokrasi tanpa pers yang merdeka, hanyalah ilusi.

KEBEBASAN pers bukanlah hadiah dari kekuasaan, melainkan hasil dari perjuangan panjang. Di tengah peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh setiap 3 Mei, gema semboyan “Kebebasan Pers Tak Pernah Padam” terus dikumandangkan oleh jurnalis, aktivis hak asasi manusia, dan masyarakat sipil.

Namun di balik slogan itu, tantangan nyata justru masih mengintai di balik ruang redaksi dan jagat digital.

Salah satu contoh nyata adalah insiden yang menimpa Majalah TEMPO pada Maret 2025. Pada tanggal 19 Maret 2025, kantor redaksi TEMPO dikirimi paket berisi kepala babi.

Paket tersebut ditujukan kepada jurnalis Francisca Christy Rosana, host siniar Bocor Alus Politik.

Beberapa hari kemudian, tepatnya 22 Maret 2025, petugas kebersihan kembali menemukan paket berisi enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal di depan kantor yang sama.

Komite Keselamatan Jurnalis mengecam keras aksi tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk teror terhadap kebebasan pers.

Indonesia memang tak kekurangan aturan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara.

Namun, implementasinya sering kali tidak selaras dengan semangat demokrasi. Alih-alih dilindungi, jurnalis justru diintimidasi, diadili, bahkan diserang secara fisik maupun digital ketika menyuarakan kritik.

Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, sepanjang 2023 terjadi 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Tren ini tidak kunjung menurun; memasuki 2024 hingga awal 2025, jumlah laporan pengaduan ke Dewan Pers dan LBH Pers tetap tinggi.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini