Bentuknya pun kian kompleks, dari doxing, serangan siber, hingga kriminalisasi dengan pasal-pasal karet seperti UU ITE dan UU KUHP baru.
Di sisi lain, tekanan terhadap media juga muncul dari internal industri. Konsolidasi kepemilikan media oleh segelintir konglomerat menyebabkan berkurangnya ruang independensi redaksi.
Media dituntut tidak sekadar menyampaikan informasi, tapi juga menjaga kepentingan bisnis pemilik modal.
Ruang redaksi yang mestinya menjadi tempat meracik kebenaran, berubah menjadi ruang negosiasi kepentingan.
Namun, masih ada harapan. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, muncul inisiatif dari masyarakat sipil dan komunitas jurnalis untuk memperkuat daya tahan media.
Kolaborasi liputan investigatif, platform pengaduan digital yang lebih aman, hingga edukasi literasi media makin diperluas.
Sebagian kalangan bahkan mendesak agar perlindungan terhadap jurnalis dimasukkan ke dalam RUU Perlindungan Pekerja Informal.Pemerintah semestinya membaca sinyal ini dengan serius. Bukan dengan membatasi, melainkan memfasilitasi.
Negara harus menjadi pelindung, bukan lawan kebebasan pers. Bukan hanya karena konstitusi mengamanatkannya, tetapi karena demokrasi tanpa pers yang merdeka hanyalah ilusi.
Maka, slogan “Kebebasan Pers Tak Pernah Padam” bukan sekadar pernyataan normatif.