Kehadiran Bang Wina dalam kehidupan kami di PJS, meski di luar struktur, tetap terasa kuat. Ia seolah jadi jembatan antara generasi senior dan junior, antara idealisme dan kenyataan lapangan, antara hukum dan etika.
DUNIA PERS Indonesia hari ini kehilangan salah satu tokoh terbaiknya. Seorang wartawan senior, pemikir hukum pers, pengajar penuh dedikasi dan penulis yang tak pernah lelah —Wina Armada Sukardi—telah berpulang ke rahmatullah, Kamis pukul 15.59 WIB.
Ia wafat setelah beberapa hari menjalani perawatan intensif akibat serangan jantung.
Bang Wina, begitu banyak orang menyapanya, bukan hanya dikenal karena karya jurnalistik dan pemikirannya yang tajam.
Beliau adalah sosok yang rendah hati, bersahaja, dan sangat terbuka terhadap siapa pun yang ingin belajar, berbagi, atau sekadar berdiskusi.
Saya mengenal almarhum secara pribadi. Tahun 2011, ketika mengikuti Training of Trainers (ToT) Ahli Pers Dewan Pers, beliau adalah salah satu penguji saya.
Saya masih ingat bagaimana cara beliau menyampaikan kritik—tajam tapi penuh kesadaran membangun.Sebagai peserta, saya merasa diuji oleh seseorang yang tidak hanya tahu teori, tapi telah menghidupi seluruh dinamika pers dengan sepenuh jiwa dan integritas.
Namun, ada satu momen yang akan selalu saya kenang sebagai kehormatan pribadi sekaligus simbol kedekatan batin kami: Bang Wina mengirimkan langsung buku karyanya berjudul “Menjadi Ahli Dewan Pers” kepada saya di Pekanbaru, Riau.
Sebuah hadiah yang tidak hanya bermakna simbolis, tetapi juga menjadi penyemangat bagi saya dalam meniti jalan sebagai insan pers dan pendidik di bidang jurnalistik.