Buku itu bukan sekadar bacaan, tapi warisan pemikiran dan nilai.
Meski tidak pernah tercatat sebagai bagian dari struktur organisasi Pro Jurnalismedia Siber (PJS), Bang Wina hadir secara konsisten bersama kami.
Ia rajin mengirimkan rilis dan artikel kepada rekan-rekan wartawan PJS di berbagai daerah.
Ia menyapa kami, berdiskusi melalui telepon atau pesan singkat dan tak segan memberikan masukan yang membangun.
Persahabatan itu bukan soal institusi, tetapi tentang kesamaan komitmen menjaga dan merawat martabat pers Indonesia.
Di mata PJS, Bang Wina adalah sosok panutan. Ia menjadi pengingat abadi bahwa profesi wartawan tak bisa dijalani setengah hati.
Ia menjunjung tinggi independensi, keberimbangan, dan kemerdekaan pers—tiga pilar yang ia jaga hingga akhir hayat.Ia juga menjadi salah satu pemikir hukum pers yang berani menegaskan batas-batas etik, hukum, dan profesionalisme di tengah arus disinformasi dan tekanan kepentingan.
Karya-karyanya, mulai dari buku Wajah Hukum Pidana Pers, Hak Pribadi vs Kebebasan Pers, hingga Menjadi Ahli Dewan Pers, akan terus menjadi rujukan penting bagi siapa pun yang ingin memahami hakikat pers yang merdeka dan bertanggungjawab.
Kehadiran Bang Wina dalam kehidupan kami di PJS, meski di luar struktur, tetap terasa kuat. Ia seolah jadi jembatan antara generasi senior dan junior, antara idealisme dan kenyataan lapangan, antara hukum dan etika.