Zakat dan Wakaf: Membangun Arus Baru Ekonomi Berkeadilan

Foto Muhibbullah Azfa Manik
Ilustrasi Zakat dan Wakaf: Membangun Arus Baru Ekonomi Berkeadilan

Di sisi lain, sosialisme hadir sebagai antitesis dengan perencanaan terpusat untuk meratakan distribusi.

Sayangnya, praktik itu sering mematikan inisiatif individu, menciptakan inefisiensi alokatif, dan melahirkan birokrasi kaku yang justru menghambat kesejahteraan.

Ekonomi Islam tidak lahir sebagai jalan tengah kompromistis, melainkan paradigma alternatif yang berlandaskan Maqashid al-Shari’ah, tujuan syariat untuk menjaga keadilan dan kemaslahatan.

Filosofinya sederhana: harta adalah amanah Tuhan dengan fungsi sosial. Kepemilikan pribadi diakui, tetapi dibatasi oleh prinsip keadilan dan kepentingan publik. Pasar boleh beroperasi, namun tetap dalam koridor etika yang melarang eksploitasi.

Dalam kerangka ini, zakat dan wakaf menjadi instrumen distribusi kekayaan yang sangat kuat, meski potensinya belum tergarap maksimal.

Zakat kerap dipandang sebatas kewajiban amal tahunan. Padahal, ia merupakan mekanisme redistribusi yang sistematis. Ketika dikelola secara produktif, dampaknya luar biasa.

Studi dari Badan Amil Zakat Nasional menunjukkan program zakat produktif bisa mengangkat pendapatan mustahik melampaui garis kemiskinan, bahkan menjadikan sebagian penerima sebagai muzakki baru dalam waktu singkat.

Ini adalah siklus positif yang memutus rantai kemiskinan dari akarnya.

Wakaf juga menyimpan potensi besar. Selama ini wakaf lebih banyak berupa masjid dan makam. Padahal, wakaf produktif bisa dikelola menjadi rumah sakit, universitas, pusat riset, atau kawasan industri halal.

Badan Wakaf Indonesia memperkirakan potensi wakaf uang saja mencapai Rp180 triliun per tahun. Dengan pengelolaan profesional, wakaf bisa menjadi sumber pembiayaan abadi yang menopang pembangunan sosial tanpa menguras APBN.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini