Jika zakat dan wakaf adalah jantung distribusi, maka sistem moneter syariah adalah aliran darah yang menjamin stabilitas.
Prinsip utamanya adalah pelarangan bunga, yang dipandang sebagai sumber ketidakstabilan. Sistem bunga memperlakukan uang sebagai komoditas yang beranak-pinak tanpa kaitan dengan aktivitas riil, memicu spekulasi dan krisis finansial berulang.
Sebagai gantinya, keuangan syariah beroperasi dengan prinsip bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah, sehingga uang selalu terikat pada sektor riil—perdagangan, pertanian, industri, atau proyek investasi.
Instrumen seperti sukuk telah terbukti menjadi sumber pembiayaan infrastruktur yang andal bagi negara tanpa menambah beban utang berbasis bunga. Dengan begitu, sektor keuangan benar-benar berfungsi menopang sektor riil, bukan sebaliknya.
Namun, sinergi ketiga pilar ini masih lemah. Lembaga zakat sibuk pada pengentasan kemiskinan, pengelola wakaf terjebak dalam model tradisional, sementara bank syariah bersaing dengan produk konvensional.
Alih-alih saling mendukung, mereka berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika terintegrasi, ketiganya bisa membentuk ekosistem yang tangguh.Zakat dapat menjadi jaring pengaman sosial sekaligus modal ventura mikro. Mustahik yang naik kelas bisa mengakses pembiayaan bagi hasil dari bank syariah.
Aset wakaf produktif, seperti pasar atau lahan pertanian, bisa disewakan dengan harga adil dan hasilnya dipakai membangun fasilitas publik.
Kisah Siti Maryam di Boyolali, potensi wakaf yang ratusan triliun rupiah, hingga stabilitas yang ditawarkan keuangan syariah, semuanya mengarah pada satu pesan: ekonomi Islam bukan utopia.
Ia adalah cetak biru yang relevan, asalkan dijalankan dengan visi jelas dan strategi konkret. Tantangannya bukan lagi di konsep, melainkan di eksekusi.