Tapi pesan moralnya tetap menembus zaman: anak-anak meniru apa yang mereka alami, bukan apa yang kita perintahkan.
“Jika anak dibesarkan dengan kritik, ia belajar untuk menyalahkan. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.”
Kalimat itu bukan sekadar petuah indah. Ia adalah semacam rumus sosial yang menjelaskan mengapa anak-anak masa kini bisa tumbuh menjadi sosok yang cemas, narsistik, atau sebaliknya, penuh empati dan percaya diri — tergantung dari apa yang mereka “hidupi” setiap hari.
***
Dalam konteks pendidikan anak kontemporer, pesan Dorothy terasa makin relevan. Dunia digital memperluas “ruang belajar” anak melampaui pagar sekolah dan tembok rumah.
Nilai, emosi, dan perilaku kini tersebar melalui layar — dari influencer, teman sebaya, hingga karakter animasi.
Tapi di tengah derasnya arus nilai yang bersilangan, satu hal tetap tak berubah: rumah adalah sekolah pertama, dan orang tua adalah guru pertamanya.Seorang psikolog pendidikan di Yogyakarta, Dr. Ika Sari, pernah berkata, “Anak-anak tidak belajar dari nasihat, mereka belajar dari atmosfer.”
Ia mencontohkan, anak yang tumbuh di rumah penuh tekanan akademik bisa menjadi perfeksionis atau cemas.
Sementara anak yang sering mendengar kalimat seperti “tidak apa-apa gagal, yang penting coba lagi” akan tumbuh dengan growth mindset.