Anak, Dunia Digital dan Cermin Nilai di Rumah

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Anak, Dunia Digital dan Cermin Nilai di Rumah

Bagikan opini
Ilustrasi Anak, Dunia Digital dan Cermin Nilai di Rumah

Kini, pendidikan anak tidak cukup hanya menjejalkan kurikulum STEM atau kemampuan digital. Ia memerlukan emotional literacy — kemampuan memahami dan mengelola emosi.

Dan, literasi emosional itu, seperti yang disiratkan Dorothy Law Nolte, dibentuk lewat pola relasi sehari-hari: bagaimana orang tua menanggapi kesalahan, memberi pujian, atau menghadapi konflik.

***

Rani mulai merenung tentang puisi itu malam itu juga. Ia menuliskannya di dinding dapur, lengkap dengan terjemahannya.

Setiap pagi, ia membaca dua baris bersama Damar. “If a child lives with tolerance, he learns to be patient. Jika anak dibesarkan dengan tenggang rasa, ia belajar menjadi sabar.”

Ia mulai mengubah kebiasaan kecil. Dulu, ketika Damar menumpahkan susu, ia spontan berteriak. Kini, ia menahan diri. “Tidak apa-apa, ayo kita lap sama-sama,” katanya pelan.

Ia belajar bahwa pembentukan karakter anak bukan proyek sesaat, melainkan proses yang berulang dalam keseharian.

Dalam budaya digital, di mana orang tua sering lebih sibuk dengan ponselnya daripada tatapan anak, pesan itu terdengar seperti teguran halus. Anak-anak kini hidup di dua dunia: dunia nyata dan dunia maya.

Mereka meniru nada bicara dari video, belajar etika dari komentar netizen, dan mencari validasi dari jumlah “like”. Di tengah itu semua, rumah seharusnya menjadi jangkar nilai — bukan menara perintah.

Psikolog keluarga Gottman (2019) menyebut konsep emotion coaching sebagai kunci pola asuh masa kini: bukan sekadar melarang atau memerintah, tetapi menuntun anak mengenali emosinya sendiri.

Tag:
Bagikan

Opini lainnya
Terkini