“Sepertinya, tawuran ini sudah jadi ajang eksistensi mereka di dunia maya,” terang dia.
“Tawuran, pada saat ini diciptakan dengan mengatur lokasi bentrokan di tempat yang telah disepakati antarkelompok. Jadi, tawuran yang terjadi, menitik beratkan pada gaya hidup para pelaku tawuran yang mayoritas remaja di bawah umur,” urai dia.
Eka menegaskan, tawuran yang terjadi pada saat ini telah berada pada ranah kriminalitas yang berawal dari bentuk solidaritas dengan konotasi negatif.
“Pada usia remaja, mulai melakukan sosialisasi solidaritas sosial. Sayangnya solidaritas yang dilakukan lebih menuju pada perilaku negatif dalam mewujudkan kepentingan kelompok tawuran,” ucapnya.
Oleh karena itu, pendekatan orang tua dan lingkungan sosial di tingkat RT/RW merupakan cara ampuh dalam menutup peluang terjadi tawuran.
“Larang anak untuk melakukan interaksi sosial setelah Isya. Hal ini juga di dukung oleh RT/RW dalam menjaga ketertiban.”“Jika tetap terlibat aksi tawuran, Pemerintah harus memberikan efek jera, yang telah diatur oleh hukum dan Perda yang berlaku,” tutupnya. (*)
Editor : Mangindo Kayo