PADANG (14/6/2025) - Media bukan lagi alat kontrol kekuasaan, melainkan dikendalikan oleh kekuasaan itu sendiri. Pers bukan tak bisa bicara, tapi kini lebih sering memilih diam—karena tekanan, karena pesanan.
Premis ini terungkap dari diskusi antara Pemred Rakyat Sumbar Revdi Iwan Syahputra dan Ketua IJTI Sumbar yang juga salah satu pimpinan di Padang TV, Defri Mulyadi bertemakan kebebasan pers di Sumatera Barat.
Di sore yang tenang namun penuh percikan intelektual, dua tokoh penting dunia pers Sumatera Barat—Revdi Iwan Syahputra dan Defri Mulyadi—duduk berhadapan.
Mereka bukan sekadar wartawan senior, melainkan juga penjaga ingatan atas masa-masa di mana pers berdiri tegak sebagai penyeimbang kekuasaan.
Diskusi mereka bukan basa-basi. Tema yang diangkat sarat kritik sekaligus refleksi: "Kondisi Kebebasan Pers dan Independensi Media di Tengah Arus Kepentingan dan Tekanan Ekonomi."
Revdi, Pemred Rakyat Sumbar yang juga pernah menakhodai beberapa media arus utama di Sumbar, menyuarakan kegelisahan mendalam.“Hari ini, banyak media kehilangan arah. Kita dulu menulis untuk kebenaran. Sekarang, banyak menulis untuk kepentingan,” kata pria yang biasa dipanggil Ope itu, lugas.
Menurutnya, ruang redaksi saat ini tidak lagi menjadi tempat berpikir bebas, tapi berubah menjadi “dapur produksi” pesanan.
Ia menyebut tumpulnya fungsi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis dari hilangnya independensi redaksional. “Banyak wartawan lebih takut kehilangan kerja daripada kehilangan integritas,” ujar Revdi.
Defri Mulyadi mengamini pandangan itu. Sebagai Ketua IJTI Sumbar dan jurnalis TV yang aktif turun lapangan, ia merasakan betul bagaimana ruang gerak jurnalis makin sempit.
Editor : Mangindo Kayo