Sementara, Undri mengungkapkan, salah satu tujuan simposium ini adalah untuk menjalin jejaring solidaritas antar pengelola situs warisan dunia.
“Melalui simposium ini, kita ingin membangun jejaring solidaritas antar site managers dunia yang bekerja senyap namun berdampak besar bagi kebudayaan dan kemanusiaan,” terangnya.
Dikatakan, simposium edisi pertama di George Town, Pulau Pinang, Malaysia, berhasil melahirkan ‘Deklarasi George Town’ yang memfasilitasi pembentukan Jaringan Global Pengelola Situs Warisan Dunia.
“Dengan adanya simposium di Sawahlunto, diharapkan jaringan ini akan semakin kuat,” harap Undri.
Menurut dia, berbagai situs warisan dunia Unesco di Indonesia, merupakan modal kuat untuk agenda diplomasi budaya.
“Sawahlunto bukan hanya situs warisan dunia Unesco, tetapi juga simbol bagaimana warisan masa lalu bisa menjadi laboratorium peradaban masa depan,” ungkapnya.
“Simposium ini juga sangat strategis. Kehadiran para ahli dan praktisi dari berbagai negara di Sawahlunto dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam diplomasi budaya global,” tambah Undri.Salah seorang dewan pengarah simposium, Dr Sudarmoko menambahkan, upaya memindahkan lokasi penyelenggaraan simposium ke Kota Sawahlunto bukanlah persoalan sederhana. Banyak pihak perlu dilakukan.
Kemudian, dalam penyelenggaraan simposium, juga disertai tantangan kebijakan efesiensi anggaran serta perubahan nomenklatur dari bertukarnya kementrian yang menaungi kegiatan.
“Alhamdulillah, semuanya bisa dilalui dengan baik. Bahkan, kesiapan pelaksanaan simposium juga telah dilakukan secara optimal,” kata Sudarmoko.
Editor : Mangindo Kayo