Keberadaan Pasar Raya Padang terutama "bangunan warna-warni" (Blok Pasar Inpres), menjadi bentuk keterkaitan antara sirkulasi di ruang publik dengan suasana ruang yang tercipta dari setting ruang dan perilaku manusia.
Perilaku manusia mempengaruhi lingkungan sekitar, hal ini terjadi akibat adanya interaksi manusia dengan manusia dan interaksi manusia dengan ruang. Apabila terjadi ketidak nyamanan dan tidak terpenuhinya harapan terhadap ruang tertentu, maka manusia akan mudah meninggalkan ruang interaksi tersebut kemudian pindah dan menciptakan ruang baru.
Ruang interaksi baru itulah kemudian menjadi tempat berkumpulnya para pedagang (PKL), yang kemudian tumbuh satu persatu di badan jalan, selasar hingga jalan utama Pasar Raya.
Tahun ke tahun fenomena keberadaan PKL sepertinya menjadi permasalahan yang sangat rumit yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Padang, walaupun PKL ikut memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perputaran roda perekonomian kota.
Keberadaan PKL juga dianggap menimbulkan permasalahan bagi tata ruang kota, hal ini disebabkan keberadaan PKL dinilai telah melanggar Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Daerah yang telah diberlakukan, seperti peraturan mengenai penggunaan Fasilitas Umum (Fasum) dan Fasilitas Sosial (Fasos) yang tidak diperuntukkan bagi PKL, sehingga menyebabkan terjadinya kemacetan.
Persaingan yang tidak seimbang antara pasar tradisional (pedagang kecil, PKL) dengan pasar modern (Kios, pertokoan) menyebabkan wajah kota menjadi tidak indah dan bersih, secara tidak langsung PKL telah menciptakan kesemrawutan di tengah-tengah sirkulasi pasar.Peristiwa ini tentunya tidak terjadi begitu saja, hal ini ada kemungkinan akibat dari "longgarnya sistem pengelolaan pasar" oleh Pemerintah Kota melalui Dinas Pasar, sehingga munculnya masalah berulang dari PKL lebih kreatif, inovatif dan cepat tanggap dalam merespon fenomena ini.
Solusi yang tepat dan menguntungkan bagi semua pihak sangat dibutuhkan dalam tata kelola pasar. Seperti yang kita ketahui Dinas Pasar memiliki beberapa tugas utama, seperti; merumuskan kebijaksanaan teknis, memberikan bimbingan dan pembinaan, serta memberikan perizinan sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Walikota.
Kemudian melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengamankan pengendalian teknis atas pelaksanaan tugas pokok sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Walikota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disini kebijaksanaan dari Walikota dalam memutuskan kebijakan memiliki peran yang sangat vital. Keputusan yang diambil tentunya harus berpihak pada setiap unsur dan elemen dalam masyarakat, agar proses pembangunan kota dengan metode perencanaan bottom up (dari bawah/ masyarakat) sebagai bentuk usaha dalam meningkatkan partisipasi dari semua pihak (stakeholder) sesuai dengan "karakteristik daerah" dapat terwujud dengan baik.