Dari beberapa kasus di atas, agaknya politik keluarga tersebut semakin berkembang biak di masa yang akan datang.
Bila itu benar terjadi, maka dapat dipastikan bahwa esensi demokrasi yang didasarkan pada nilai kebebasan (freedom), kemandirian (independent), kesetaraan (equality), keadilan (justice), keterbukaan (transparancy), toleransi (tolerance), dan bertanggungjawab (responsibility) perlahan akan jadi barang mahal.
Nilai-nilai utama ini akan semakin terpinggirkan, sehingga “demokrasi” hanya sekadar pemanis saja. Nilai utama yang akan menentukan adalah “kedermawanan semu” (pseudo generosity), otoritas dan pengaruh (authority and influence), sehingga kekuasaan akan berbutar pada sekelompok orang saja (oligarchie).
Distribusi kekuasaan akhirnya bergerak pada kelompok elite yang memiliki modal ekonomi (economic capital) yang besar, dan kekuasaan yang punya pengaruh sehingga sulit didapatkan oleh anggota masyarakat yang hanya memiliki modal sosial, modal budaya, modal politik dan lain-lain.
Dalam konteks yang lebih spesifik, bila dikaitkan dengan budaya lokal, kepemimpinan masyarakat Sumatera Barat yang berbasis pada budaya dan adat Minangkabau, dimana “kemenakan” (keponakan) sebagai pewaris kepemimpinan seorang “mamak” (paman) dalam sebuah kaum akan semakin cepat tercerabut dari akarnya.Karena, praktik politik keluarga cenderung berpihak pada garis keturunan dari ayah ke anak (patriarchate).
Atas hal itu, maka perubahan terhadap beberapa regulasi di antaranya; pembatasan terhadap dana kampanye; pembiyaan politik oleh negara, dan larangan terhadap anggota keluarga untuk berkontestasi dalam pemilu legislatif maupun eksekutif (pilpres dan pilkada) pada saat seorang anggota keluarga sedang berkuasa (petahana) mendesak untuk dibuat.
Bila ini tidak segera dilakukan, dapat dipastikan perlahan demokrasi tidak hanya menghadapi tantangan yang serius, maka perlahan namun pasti demokrasi yang sedang diperjuangkan akan “sekarat” pada waktunya. (*)