Tapi benarkah demikian? Atau justru kita perlu melihat ke arah yang lebih tinggi pada elit politik, sistem pendidikan, dan media yang gagal membangun kesadaran politik publik?
Ironis, Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia. Namun kita menyimpan paradoks yang mengkhawatirkan: demokrasi kita begitu dinamis secara prosedural, namun sangat lemah secara substansial.
Demokrasi Indonesia, berdasarkan indeks demokrasi dunia, kini masuk dalam kategori flawed democracy atau demokrasi cacat.
Salah satu penyebabnya adalah tingkat kesadaran politik masyarakat masih jauh dari harapan. Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 53% pemilih Indonesia tidak memilih berdasarkan program kerja, rekam jejak, atau visi-misi calon pemimpin.
Sebaliknya, mereka memilih berdasarkan figur, popularitas, dan sentimen identitas seperti agama atau etnis.
Lebih dari itu, 74% responden mengaku tidak membaca visi dan misi pasangan calon sebelum mencoblos.
Ini adalah fenomena yang mengerikan. Rakyat memilih, tapi tidak benar-benar memahami apa yang dipilih.Dalam ruang kosong ini, propaganda dan manipulasi subur tumbuh. Data Kominfo menunjukkan bahwa sekitar 40% informasi politik yang beredar merupakan hoaks, dan 65% masyarakat mengaku kesulitan membedakan informasi palsu dan yang sahih.
Demokrasi yang sehat tak bisa hidup dalam masyarakat yang tak tahu apa yang mereka perjuangkan, atau apa yang harus mereka pertanyakan.
Dalam kondisi inilah elit politik begitu mudah memainkan isu-isu sensitif untuk menggiring opini, mulai dari ancaman komunisme, kriminalisasi ulama, hingga sentimen-sentimen sektarian yang memecah belah.