Pertemuan Prabowo dengan pers mencerminkan semua itu. Ketika ditanya mengenai arah kebijakan luar negeri atau langkah konkret menghadapi radikalisme, jawaban yang keluar malah tentang program makan siang gratis.
Ketika ditanya soal penegakan hukum atau kebebasan sipil, jawaban berputar-putar tanpa kepastian. Ini bukan sekadar komunikasi yang buruk, ini adalah bukti bahwa sang pemimpin tak memiliki kompas isu. Tak ada arah, tak ada substansi, hanya permainan narasi populis yang kosong makna.
Namun, ini bukan sekadar kesalahan satu figur. Ini adalah akumulasi dari kegagalan sistemik dari pendidikan politik yang minim, media yang lebih sering menjual sensasi ketimbang mendidik, hingga partai politik yang tak pernah benar-benar menjadi sekolah demokrasi.
Akibatnya, ketika pemimpin berseloroh di hadapan pertanyaan-pertanyaan serius, banyak yang justru tertawa dan menyambutnya sebagai "gaya khas" pemimpin, bukan tanda bahaya.
Kita tidak sedang menghadapi pemimpin yang terlalu kuat, tapi masyarakat yang terlalu diam. Titik tumpu kegagalan demokrasi kita bukan pada rakyat yang turun ke jalan, melainkan pada negara yang lupa cara mendengar.Ketika massa dianggap tunggangan, ketika kritik dianggap ancaman, ketika pertanyaan dijawab dengan seloroh maka yang hilang bukan sekadar substansi, melainkan arah politik seluruh bangsa.
Demokrasi bukan tentang memilih setiap lima tahun, tapi tentang memahami, mengontrol, dan terlibat dalam jalannya kekuasaan setiap hari.
Selama kita masih membiarkan pemimpin berseloroh tanpa arah, sementara kita kehilangan keberanian untuk bertanya dan menuntut, maka kita sedang mengarungi republik ini tanpa kompas dalam kabut, menuju ketidakjelasan. (*)