Pandangan Dr. Emeraldy bahwa para penggagas DIM adalah “orang Minang[kabau] yang hidup di Rantau, yang umumnya tidak benar-benar paham dengan kondisi masyarakat Minangkabau sekarang ini” terkesan terlalu dangkal.
POSTINGAN tulisan Dr. Emeraldy Chatra soal DIM yang dapat dibaca di laman akun FB Jasman Rizal yang kemudian di re-posting-kan oleh Dirwan Ahmad Darwis ini memberi pandangan kepada kita bahwa bagi penulisnya (Dr. Emeraldy Chatra), tampaknya OTORITAS DAN PERILAKU POLITIK TIDAK BERDAMPAK KEPADA PEMBENTUKAN KARAKTEK SEBUAH KELOMPOK MASYARAKAT (kursif dengan huruf besar oleh Suryadi).
Sebagaimana disentil oleh Uda Dirwan Ahmad Darwis, melalui tanggapan pendek ini (maaf, belum sempat saya olah jadi sebuah artikel yang lebih sistematis) saya ingin menunjukkan bahwa semangat “basilang kayu dalam tungku, baitu api mako iduik” yang khas Minangkabau masih ada.
Semestinya, tetap dihidupkan, walau kita kian pesimistis bahwa hal ini akan dapat tumbuh subur lagi di kalangan “Genereasi Z” dan “Generasi Strawberry” Minangkabau di zaman sekarang.
Dr Emeraldy seolah menafikan bahwa konsep negara NKRI yang sangat sentralistik yang sudah berlangsung selama hampir 80 tahun (sejak Indonesia merdeka) TIDAK MEMBERI KONTRIBUSI DALAM PENGHADIRAN K/CARUT-MARUT POLITIK LOKAL, KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA, DAN PERILAKU ORANG MINANGKABAU hari ini (kursif dengan huruf besar dari saya).
Padahal para penggagas DIM berpikir sebaliknya: otoritas politik nasional yang korup dan mengontrol daerah secara ketat dengan “mata elangnya” adalah SALAH SATU di antara banyak faktor-faktor yang telah menjadikan Minangkabau/Sumatra Barat mengalami degradasi dalam berbagai bidang kehidupan hari ini (kursif dengan huruf besar oleh Suryadi).
Oleh sebab itulah, mereka (para penggagas DIM itu) menuntut adanya “hak Istimewa” yang diharapkan dapat jadi salah satu “modal” untuk menata kembali Minangkabau.Saya tidak menafikan bahwa beberapa hal yang dikemukakan Dr. Emeraldy juga perlu dipertimbangkan, misalnya bahwa masalah yang dihadapai etnis Minangkabau sekarang adalah ketiadaan figur publik berkarakter kuat, baik politisi maupun tokoh adat dan agama, yang dapat dijadikan tauladan oleh orang banyak.
Namun, kita sudah melihat bahwa, betapa otoritas politik menjadi faktor lebih krusial dalam menentukan dan membentuk karakter sebuah masyarakat.
Seorang Donald Trump misalnya, dengan kebijakan “war on tariff” yang diluncurkannya, telah mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi dunia dalam bulan-bulan terakhir ini.