Sumatera Barat boleh saja berharap, tapi harapan itu harus dibarengi dengan kesanggupan mengelola otonomi yang lebih luas secara adil dan transparan.
Jika tidak, maka ia hanya akan jadi satu lagi gelar administratif yang terdengar indah, tapi hampa makna.
USULAN menjadikan Sumatera Barat sebagai Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) kembali mencuat. Tak hanya didorong oleh semangat lokalitas, tapi juga sebagai bentuk pengakuan formal atas kekhasan budaya, sejarah, dan sistem sosial masyarakat Minangkabau.
Di tengah gelombang perubahan status administratif sejumlah daerah—Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta dan revisi status Ibu Kota Nusantara—aspirasi ini menemukan momentumnya.
Sumatera Barat memang berbeda. Di wilayah ini, falsafah adat menjadi panduan sosial yang hidup dan konkret: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Sistem kekerabatan matrilineal yang unik, mekanisme musyawarah dalam kaum dan nagari, hingga peran ulama dan ninik mamak dalam menyelesaikan sengketa sosial, telah membentuk struktur sosial-politik yang khas.
Tak berlebihan, bila banyak pihak menganggap, Sumatera Barat layak mendapatkan status istimewa, sejajar dengan Yogyakarta dan Aceh.Namun, istimewa bukan berarti hanya simbol. Ia harus diikuti dengan argumen konstitusional yang kuat dan desain kebijakan yang jelas.
Selama ini, status daerah istimewa atau khusus diberikan berdasarkan sejarah panjang hubungan dengan Republik (seperti Kesultanan Yogyakarta), konflik dan rekonsiliasi (seperti Aceh dan Papua), atau penyesuaian pasca-perubahan status nasional (seperti Jakarta).
Di mana posisi Minangkabau?