DIM: Aspirasi, Bukan Romantisme

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

DIM: Aspirasi, Bukan Romantisme

Bagikan opini
Ilustrasi DIM: Aspirasi, Bukan Romantisme

Sumatera Barat memiliki catatan panjang dalam sejarah kebangsaan. Dari tanah ini lahir para pemikir republik: Tan Malaka, Hatta, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim.

Peran strategis Minangkabau dalam sejarah pendidikan, pergerakan nasional, dan konsolidasi Islam moderat di Indonesia, tak bisa dikesampingkan.

Bahkan, bentuk pemerintahan nagari, yang pernah dikembalikan secara resmi pada era desentralisasi awal 2000-an, menunjukkan kuatnya akar demokrasi lokal di tanah Minang.

Namun, pengistimewaan bukan hanya soal sejarah dan budaya. Ia juga berimplikasi pada tata kelola kekuasaan, alokasi anggaran, dan kerangka hukum baru.

Apakah dengan status istimewa, Sumatera Barat akan memiliki hak untuk menyusun regulasi berbasis adat yang mengikat?

Apakah jabatan gubernur akan diatur secara turun-temurun seperti di Yogyakarta?

Atau akan diberikan kewenangan lebih luas dalam mengatur pendidikan, kebudayaan, dan urusan keluarga, sebagaimana yang diatur dalam sistem kaum?

Di titik ini, usulan menjadi DIM perlu diuji lewat nalar hukum dan kebutuhan praktis. Jangan sampai hanya menjadi romantisme budaya yang sulit diterapkan dalam sistem pemerintahan modern.

Pemerintah pusat pun harus berhati-hati. Jika terlalu banyak daerah diberikan status khusus atau istimewa tanpa parameter yang ketat, maka risiko fragmentasi kebijakan nasional menjadi ancaman serius.

Di sisi lain, usulan ini juga bisa menjadi momentum penguatan sistem adat dan pendidikan berbasis nilai lokal.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini