Merdeka Belajar, Tapi Tidak untuk Semua

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Merdeka Belajar, Tapi Tidak untuk Semua

Bagikan opini
Ilustrasi Merdeka Belajar, Tapi Tidak untuk Semua

Selama akses terhadap pendidikan bermutu masih ditentukan oleh kode pos, selama siswa di Papua harus berjalan lima jam demi belajar membaca, sementara siswa di Jakarta sibuk belajar coding dan kecerdasan buatan, maka semboyan “Merdeka Belajar” hanyalah mantra kosong.

SEBUAH video pendek beredar luas di media sosial beberapa waktu lalu. Menampilkan anak-anak kecil di Papua Pegunungan yang berjalan kaki melintasi lembah, sungai, dan jalan berbatu selama tiga hingga lima jam hanya untuk sampai di sekolah.

Seragam mereka lusuh, sandal jepit sudah tipis, dan gedung sekolah yang dituju berdinding kayu reyot dengan papan tulis kusam.

Di waktu yang sama, di sebuah SMA unggulan di Jakarta Selatan, para siswa asyik belajar dengan papan interaktif digital, koneksi internet cepat, dan guru tamu dari luar negeri.

Dua potret ini bukan karikatur, melainkan kenyataan pendidikan Indonesia: satu negeri, dua dunia.

Slogan “Merdeka Belajar” yang digaungkan Kementerian Pendidikan tak sepenuhnya menembus batas geografis dan sosial.

Nyatanya, sebagian anak Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka untuk sekadar belajar.

Ketimpangan bukan hanya terlihat dari bangunan dan perangkat teknologi, tetapi juga dari struktur peluang yang timpang sejak anak dilahirkan di tempat yang berbeda.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas adalah 9,22 tahun—setara lulus kelas IX SMP.

Namun, di balik angka itu tersembunyi kesenjangan mencolok. DKI Jakarta mencatat rerata lama sekolah tertinggi, 11,5 tahun, mendekati SMA kelas XII.

Bagikan

Opini lainnya
Terkini