Belum lagi tingginya angka guru yang mengajar di luar kompetensinya, serta kekosongan tenaga pengajar yang bertahun-tahun tidak terisi karena sistem rekrutmen yang tidak sensitif terhadap kondisi lokal.
Pendidikan seharusnya menjadi mesin mobilitas sosial, tetapi dalam kondisi saat ini justru semakin memperlebar kesenjangan.
Mereka yang lahir di kota, anak kelas menengah yang memiliki akses ke internet, bimbingan belajar, dan kurikulum internasional, terus melaju ke universitas top dalam dan luar negeri.
Sementara anak-anak dari desa terpencil dan kantong kemiskinan struktural nyaris tak punya ruang untuk bersaing setara.
Pendidikan telah menjadi alat reproduksi ketimpangan, bukan pemutusnya.
Pemerintah harus berani mengambil langkah afirmatif. Bukan sekadar menyusun dokumen strategi yang tebal dan membanggakan indeks agregat nasional, tetapi mengintervensi secara nyata titik-titik rapuh dalam sistem pendidikan di daerah tertinggal.Program beasiswa berbasis keluarga miskin, tunjangan khusus bagi guru yang bersedia mengajar di wilayah ekstrem, hingga pembangunan sekolah asrama dan pengiriman guru berkualitas harus dijalankan secara massif dan sistematis.
Hari Pendidikan Nasional—yang kita peringati setiap 2 Mei—seharusnya menjadi ajang refleksi, bukan seremoni.
Selama akses terhadap pendidikan bermutu masih ditentukan oleh kode pos, selama siswa di Papua harus berjalan lima jam demi belajar membaca, sementara siswa di Jakarta sibuk belajar coding dan kecerdasan buatan, maka semboyan “Merdeka Belajar” hanyalah mantra kosong.
Yang merdeka memang belajar —tapi hanya mereka yang tinggal di kota, cukup makan, dan tak pernah tahu getirnya berjalan jauh demi mimpi. (*)