Di balik kalimat itu, ada kekuatan Ombudsman yang jarang dibicarakan: integritas personal yang dijaga dalam diam.
Namun pekerjaan mereka bukan tanpa tantangan. Ombudsman tidak memiliki kewenangan eksekutorial.
Ia tidak bisa memberi sanksi seperti Komisi Yudisial atau KPK. Paling banter, mereka melayangkan rekomendasi.
“Tapi kami punya senjata: sorotan publik dan kredibilitas laporan,” ujar Mokhammad Najih, Ketua Ombudsman RI.
Ini yang kerap membuat pemerintah daerah, kementerian, hingga lembaga pelayanan publik mulai berhitung: membiarkan teguran Ombudsman bisa mencoreng reputasi — sesuatu yang kadang lebih menyakitkan dari sanksi hukum.
Di era media sosial yang tak mengenal waktu, reputasi bisa luluh dalam semalam, dan Ombudsman tahu cara menyalakan api kecil itu.
Kasus-kasus populer yang berhasil mereka tuntaskan membuktikan efektivitas kerja sunyi itu.Dari kisruh PPDB di banyak daerah, sengketa pertanahan, hingga keluhan tenaga honorer yang diperlakukan tak adil, Ombudsman hadir sebagai "pengacara rakyat" tanpa tarif.
Bahkan di banyak kasus, merekalah satu-satunya institusi yang mau membuka berkas yang ditutup rapat oleh birokrasi.
Meski begitu, lembaga ini juga tidak kebal kritik. Dalam beberapa kasus, mereka dianggap lamban merespons, atau terjebak dalam komunikasi birokratik yang membingungkan pelapor.