Berbeda dengan dolar Singapura atau baht Thailand yang mudah ditemukan di money changer global, rupiah masih dianggap “terlalu domestik,” terlalu bergantung pada ekspor komoditas primer, dan kurang dipercaya sebagai penyimpan nilai.
Indonesia memang memiliki PDB yang besar, tapi itu belum berarti Indonesia adalah kekuatan ekonomi dunia yang setara dengan Jepang, Jerman, atau bahkan Vietnam dalam konteks manufaktur global.
Kedua, soal bahasa Indonesia. Baru-baru ini, Indonesia berhasil mendorong pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN. Itu langkah penting.
Tapi mengharapkan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional seperti Inggris, Mandarin, atau bahkan Korea, masihlah terlalu jauh.
Bahasa menjadi internasional bukan karena jumlah penutur semata. Ia menjadi global karena kekuasaan: kekuatan ekonomi, militer, budaya, dan teknologi dari negara yang mengusungnya.
Inggris berjaya karena kolonialisme dan dominasi AS di abad ke-20. Mandarin naik daun karena kebangkitan ekonomi Tiongkok.
Korea sukses bukan karena bahasa itu mudah, melainkan karena K-pop, K-drama, dan Samsung membuat dunia tertarik pada Korea.Lalu, apa yang Indonesia miliki?
Secara budaya, Indonesia kaya luar biasa. Tapi belum terorganisir menjadi kekuatan lunak (soft power) yang efektif. Film, musik, dan literatur Indonesia jarang menembus pasar global.
Brand teknologi lokal belum punya gaung internasional. Dan belum ada gelombang “Indo Wave” yang bisa menyamai “Hallyu” milik Korea Selatan.