Lantas, apakah semua ini berarti pesimisme? Tidak. Tapi ini peringatan: mengandalkan kekaguman asing terhadap keindahan Bali, pluralisme Indonesia, atau potensi pasar 270 juta jiwa, tidak cukup untuk membuat dunia menghormati Indonesia sebagai kekuatan global.
Pengakuan tidak datang dari sekadar dikagumi. Ia datang dari kekuatan yang diakui: ekonomi yang inovatif, budaya yang diekspor, kebijakan luar negeri yang menentukan, dan bahasa yang dibutuhkan dunia.
Jika Indonesia ingin lebih dihargai, maka mimpi-mimpi besar seperti menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional atau rupiah sebagai mata uang yang diterima di bandara luar negeri harus dibarengi dengan kerja keras nasional yang sistemik dan konsisten.
Itu artinya memperkuat industri kreatif, memperluas diplomasi budaya, memperbaiki daya saing ekonomi, dan membangun citra negara yang positif di luar negeri.Mimpi bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi bermimpi di siang bolong tanpa strategi hanya akan membuat kita mabuk pujian semu. Dunia tidak akan mengangkat kita jika kita tidak mengangkat diri sendiri. (*)