Dengan pengabdian 30 tahun, seorang dosen justru dipaksa "mogok makan" oleh kampusnya.
Gaji yang kini memasuki bulan ketujuh tak dibayar, ijazah yang ditahan dan serangkaian tekanan lain bisa menjadi bom waktu finansial bagi universitas yang memilih bermain catur dengan hukum.
ANGIN tak sedap itu kini menjelma badai bagi Budi (nama samaran). Setelah tiga dekade—nyaris separuh hidupnya—mengabdi sebagai dosen tetap di Universitas Cakra Buana (UCB), ia justru mendapati pintu rezekinya ditutup paksa.
Bukan oleh krisis moneter, melainkan oleh arogansi lembaga yang seharusnya menjadi pilar intelektualitas.
Hubungan kerja yang terikat undang-undang kini terasa lebih mirip dekrit sepihak dari sebuah kerajaan kecil yang merasa kebal hukum.
Persoalannya kian akut. Keran gaji yang semula hanya macet, kini benar-benar kering. Jika bulan ini tak juga ditunaikan, genap tujuh bulan Budi bekerja tanpa upah. Sebuah pesan brutal yang lebih dari sekadar "tak lagi diinginkan."
Ini adalah strategi bumi hangus untuk memaksanya angkat kaki dengan tangan hampa."Skenario ini jelas, agar saya mengundurkan diri sehingga mereka bebas dari kewajiban membayar pesangon atas 30 tahun masa kerja saya," ujar Budi.
Di sinilah UCB agaknya sedang berjudi dengan nasibnya sendiri. Statuta yayasan dan peraturan internal yang mereka agungkan bak kitab suci, sejatinya tak berdaya saat berhadapan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Sebuah lembaga pendidikan, semegah apa pun menara gadingnya, tetaplah subjek hukum yang tak bisa lari dari kewajiban normatif.