Kejanggalan tak berhenti di situ, melainkan menjadi bagian dari pola penekanan yang sistematis. Selain gaji pokok, gaji ke-13 yang menurut Budi sudah menjadi kebiasaan di UCB, juga raib untuknya sejak tahun lalu.
Anehnya, dosen lain yang berada dalam posisi yang tak jauh berbeda, tetap menerima pembayaran tersebut.
Ini memunculkan dugaan kuat adanya kebijakan diskriminatif berdasarkan "suka atau tidak suka", sebuah praktik yang jauh dari prinsip tata kelola yang adil.
Puncak dari manuver UCB adalah soal ijazah asli S2 milik Budi yang ditahan. Ketika Budi menagihnya, pihak universitas justru melakukan "akrobatik hukum" dengan berkelit meminta bukti tanda terima.
Sebuah manuver yang ganjil, mengingat penyerahan ijazah tersebut didasari oleh sebuah perjanjian resmi yang dikuatkan di hadapan notaris.
Akta notaris, yang dalam hierarki hukum memiliki kekuatan pembuktian sempurna, seolah tak ada artinya di mata UCB.
“Mereka membantah menerima, padahal ada perjanjian notarial. Ini sudah masuk ranah pengingkaran yang tidak bisa dibenarkan secara hukum perdata,” keluh Budi.Namun, UCB sepertinya salah membaca langkah lawan caturnya. Alih-alih terpojok, Budi justru memegang kartu yang lebih kuat. Ia tak tinggal diam.
Sadar bahwa statusnya masih terikat, Budi hingga hari ini terus mencatatkan kehadirannya secara digital.
Sebuah langkah cerdas untuk membuktikan ia tidak mangkir dan tetap menjalankan kewajibannya sebagai dosen—sebuah fakta yang akan menyulitkan posisi UCB di pengadilan.