Uang, Kekuasaan dan Kepalsuan

Foto Muhibbullah Azfa Manik
×

Uang, Kekuasaan dan Kepalsuan

Bagikan opini

Transparansi kekayaan pejabat publik sebenarnya sudah menjadi kewajiban. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) rutin diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tapi angka-angka itu kerap membuat alis terangkat. Bagaimana mungkin seorang anggota DPR bisa melaporkan kekayaan puluhan miliar dalam lima tahun, padahal gaji dan tunjangannya hanya seukuran eksekutif menengah?

DALAM kehidupan modern, menjadi kaya tampak sebagai panggilan naluriah manusia. Kekayaan dianggap bagian dari jalan menuju hidup yang lebih mulia, bukan hanya demi gengsi, tapi sebagai alat untuk memperluas manfaat kepada sesama, negara, dan agama.

Namun, dalam kenyataannya, harta bukanlah satu-satunya jalan untuk menjadi manusia yang berguna. Sejarah dan realita sosial memperlihatkan, tak sedikit orang yang tetap hidup sederhana namun mampu memberi dampak besar bagi masyarakat.

Toh kita tak bisa menutup mata: dunia tak pernah seideal itu. Terlebih jika berbicara soal dunia politik yang kian hari kian keras. Jalan menuju kekuasaan di negeri ini nyaris tak bisa ditempuh tanpa “modal” besar.

Modal sosial, intelektual, dan—terutama—materi. Uang menjadi pelumas utama untuk membangun jaringan, membeli loyalitas, dan merebut panggung kekuasaan.

Politik di Indonesia bukan sekadar soal visi atau kapasitas. Ia kerap berubah menjadi pertarungan logistik. Uang bukan cuma sarana kampanye, tapi menjadi kunci untuk menjangkau suara rakyat—terutama di sistem yang belum sepenuhnya meritokratis.

Tak heran, banyak politikus rela mengobral uang demi mendapatkan simpati. Uang bisa membungkam akal sehat, meluluhkan idealisme, dan menutup mata para pendukung dari cacat moral sang calon pemimpin.

Maka jangan terkejut bila kita menyaksikan tokoh politik dielu-elukan, meski omongan dan perbuatannya kerap melukai akal sehat. Satu-dua kali tertangkap basah berbohong, bahkan diduga menyelewengkan amanat, namun tetap disambut bak penyelamat bangsa.

Di balik layar, loyalitas semacam itu kerap dibina lewat “distribusi kesejahteraan” yang bersumber dari dompet sang tokoh. Bila mereka tak punya uang, apakah euforia semacam itu masih akan muncul?

Bagikan

Opini lainnya
Terkini