Itulah kenapa kita perlu bertanya lebih keras: apakah mungkin politik di negeri ini bersih tanpa mengubah cara kita memaknai kekayaan dan kekuasaan?
Apakah mungkin seseorang bisa meniti tangga politik dengan tetap sederhana, tanpa membeli loyalitas, tanpa menebar sogokan, dan tanpa perlu menjadi kaya dulu?
Jawaban atas pertanyaan itu mungkin tidak sederhana. Tapi langkah awalnya adalah menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa menjadi pemimpin bukanlah jalan untuk memperkaya diri.
Bahwa kekuasaan seharusnya menjadi alat untuk melayani, bukan untuk membangun dinasti ekonomi. Dan bahwa masyarakat harus lebih berani bertanya: dari mana asal kekayaan politikus kita?
Menjadi manusia yang berguna memang tak selalu butuh banyak harta. Tapi dalam dunia politik Indonesia hari ini, justru banyak yang merasa harus punya harta berlimpah agar bisa dianggap berguna—meskipun hanya di permukaan.Inilah paradoks yang harus diurai: ketika alat dianggap sebagai tujuan, dan kekuasaan dijadikan komoditas yang bisa dibeli dengan harga yang mahal.
Sampai kita bisa membalik logika itu, politik akan terus menjadi arena transaksional. Dan rakyat, sayangnya, masih harus puas menjadi penonton yang sesekali dibayar untuk bersorak. (*)